Kehidupan Masyarakat Baduy Dalam Perspektif MARX

Share

Tuesday 15 February 2011


PENGANTAR
Menurut Marx, hakikatnya manusia terlahir atas dasar tiga tuntutan, yaitu emansipasi, berproduksi dan hidup bebas. Manusia terlahir untuk hidup secara bersama, pada dasarnya manusia tidak diciptakan untuk hidup secara individualis. Untuk mencapai eksitensi hidup, manusia harus hidup secara bersama. Manusia sebagai alat produksi. Manusia harus berproduksi dan menciptakan alat produksi sendiri. Manusia menciptakan alat untuk membantu kehidupannya sendiri, untuk memenuhi kebutuhan materi. Manusia bertindak atas dasar naluri kebutuhan materil. Sebagai mahluk yang berproduksi, maka manusia sebenarnya memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, mengingat setiap manusia pada dasarnya memerlukan bantuan orang lain, karena keterbatasan dalam kepemilikan alat produksi. Atas dasar kekurangan itulah, manusia harus membentuk secara komunal.
Tuhan ada atas dasar akal manusia. Manusia berfikir tentang Tuhan maka Tuhan itu ada. Keberadaan Tuhan dalam pikiran manusia terlahir ketika manusia mengeluh tentang realitas hidup yang dialaminya/ Dalam konteks itu-lah Tuhan ada dalam pikiran manusia/
Keberadaan negara dalam konteks masyarakat tidak diperlukan, karena negara bersifat mengekang kebebasan individu dalam masayakarat. Kebebasan yang dirampas oleh negara dari masyarakat adalah mengakui alat-alat produksi dan menjadi hak milik negara.
Masyarakat Baduy yang bermukim di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten memiliki karakteristik masyarakat yang sama dengan pemikiran Marx tentang hakikat manusia yang dijabarkan dalam tiga pokok pikiran dua tas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Garna sebagaimana dikutip oleh Eka Permana, adalah masyarakat komunal. Masyarakat komunal adalah masyarakat yang hidup atas dasar kekerabatan secara bersama, berproduksi secara bersama dan dinikmati dengan cara bersama-sama.

Komunalitas masyarakat Baduy terangkum dalam satu konsep adat yang disebut dengan pikukuh. Pikukuh (aturan) tentang pembagian lahan komunal dan lahan individu yang dibagikan secara bersama-sama, ajaran Ketuhanan yang sama tentang Dewi Sri yang diejawantahkan dalam ritual yang dikenal dengan Kawalu, dan perilaku yang dituntun untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama.
Kawalu merupakan upacara “terima kasih” warga Baduy kepada Gusti Nu Kersa atas rezeki (panen) yang diberikan. Mungkin tanpa panen padi, kawalu tidak akan ada. Kawalu merupakan manifestasi atas materialisme-nya manusia tentang Ketuhanan.

UNTUK BEREMANSIPASI

Manusia terlahir untuk hidup secara bersama, pada dasarnya manusia tidak diciptakan untuk hidup secara individualis. Untuk mencapai eksitensi hidup, manusia harus hidup secara bersama. Manusia sebagai alat produksi. Manusia harus berproduksi dan menciptakan alat produksi sendiri. Manusia menciptakan alat untuk membantu kehidupannya sendiri, untuk memenuhi kebutuhan materi. Manusia bertindak atas dasar naluri kebutuhan materil. Sebagai mahluk yang berproduksi, maka manusia sebenarnya memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, mengingat setiap manusia pada dasarnya memerlukan bantuan orang lain, karena keterbatasan dalam kepemilikan alat produksi. Atas dasar kekurangan itulah, manusia harus membentuk secara komunal.
Untuk mengalisa masyarakat Baduy sebagai konteks pemikiran Marx, pertama kali harus menguraikan tentang asal-usul (“kelahiran”) masyarakat Baduy. Menurut pitutur (perkataan) dari Jaro Daina, masyarakt Baduy lahir sebagai pendahulu dari manusia di seluruh dunia, nabi Adam turun di Baduy. Ada empat jenis Adam dalam pemikiran Baduy, yaitu Adam Tunggal, Adam Tapel, Serpin, dan Adam Hawa. Adam tunggal adalah adam yang pertama kali menciptakan wiwitan artinya asli. Selain Adam Tunggal yang disebutkan di atas adalah adam-adam yang menjadi utusan dari Adam Tunggal, Adam Serpin adalah penguasa yang memerintah negeri siluman dan iblis. Adam Tapel adalah adam yang memiliki kerajaan atau yang memerintah di seluruh dunia, sedangkan Adam Bani Hawa adalah adam yang menjadi cikal bakal dari manusia di seluruh dunia.

Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, masyarakat Baduy adalah turunan dari adam tunggal yang menjadi inti jagat dari dunia ini. Dalam masa penciptaan dunia menurut kepercayaan masyarakat Baduy, Baduy diciptakan sebagai inti jagat dunia yang menciptakan tujuh lautan dan tujuh samudera dan tujuh lapis bumi. Sebagai inti jagat dunia, daerah Baduy menjadi pusat mandala dari dunia. Mandala ini harus dijaga agar tidak rusak yang disebut dengan pikukuh. Pikukuh adalah aturan tentang bekerja, berusaha dan berdoa. Dalam ajaran pikukuh Baduy, ada dua jenis pokok, yaitu 1) manusia dianggap semuanya adalah bersaudara dan saling membantu, dan; 2) manusia harus berperilaku (laku lampah) menurut ajaran kebaikan yang memegang pada aturan yang berasal dari adam tunggal. Adam tunggal memerintahkan untuk menjaga pusat inti jagat dunia dalam bentuk hutan larangan. Hutan larangan itu harus dicegah dari kerusakan tangan-tangan manusia, dengan tujuan agar kehidupan manusia damai.

Hal yang sama dalam pikukuh Baduy yang memandang bahwa alam dunia terdiri dari inti-jagat (wilayah Baduy) yang menjadi mandala, dan wilayah lain sebagai wilayah “tidak suci” yang harus menjadi tanggungan warga Baduy bersama-sama dengan Mandala untuk menjaga keseimbangan alam, yang dimanifestasikan dalam penjagaan atas kelestarian dan terpeliharanya hutan larangan sebagai penyedia sumber air di wilayah Banten dan Pulau Jawa. Manifestasi emansipasi Baduy juga dapat dilihat dari tindakan Jaro Daina yang mendatangi Sidoarjo untuk “nyeka” bumi Sidoarjo untuk meminta bantuan Nu Ngersakeun. Emansipasi kemanusiaan Suku Baduy terhadap bencana Lapindo digambarkan dalam konsep tata ruang Suku Baduy yang memandang bahwa Pulau Jawa adalah tempat “hidupnya” Pegunungan Kendang yang menempatkan Ujung Kulon sebagai kepala dan Sidoarjo sebagai kaki dengan Kanekes (tempat bermukimnya orang Baduy) sebagai jantungnya Pulau Jawa. Bencana di Sidoardjo adalah luka terhadap kaki Gunung Kendeng yang menyebabkan Baduy harus ikut andil dalam menyembuhkan (melalui tapa brata) kaki (Sidoardjo yang diterpa bencana Lapindo).
Emansipasi orang Baduy juga nampak dalam hal pembagian tanah (huma untuk berladang) diantara para warga. Dalam struktur kekuasaan di Suku Baduy, terdapat jabatan yang disebut dengan Girang Seurat. Girang Seurat memiliki kedudukan yang sejajar dengan Jaro Tangu (Jaro Baduy Dalam) dan sebagai kepanjangan (wakil) dari Puun (Kepala Suku) Baduy. Sebagaimana fungsi Puun Cibeo yang berwenang sebagai pemimpin spiritual di bidang kesejahteraan rakyat, Girang Seurat mendapatkan wewenang dalam mengatur pembagian tanah. Bagi masyarakat Baduy, tanah adalah titipan Nu Ngersakeun untuk umat. Kepemilikan tanah secara pribadi tidak diperkenankan sejauh tanah tersebut berada di wilayah di Baduy Dalam. Tanah bagi Baduy Dalam dibagikan untuk digarap sebagai lahan menanam padi.

Dalam menentukan siapa yang berhak menanam padi pada lahan tanah tertentu, Girang Seurat bersama-sama dengan kesepakatan semua warga menentukan siapa saja yang berhak menggarap lahan, seluas apa dan di sebelah mana yang diperbolehkan untuk digarap. Selain mengatur lahan untuk garapan pribadi, juga Girang Seurat menentukan cara menggarap huma komunitas yang disebut degan Huma Serang untuk digarap secara bersama-sama antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Melalui pembagian tanah pribadi dan penentuan kegiatan bersama untuk bercocok tanam di Huma Serang, Baduy memanifestasikan emansipasi manusia untuk saling membagi tugas untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan sosial. Perimbangan antara hak dan kewajiban terhadap di komunitas dalam garapan huma baik pribadi maupun Huma Serang menunjukkan bahwa warga Baduy mewujudkan sifat emansipasi manusia yang menjadi karakteristik manusia menurut Marx. Emansipasi terjadi ketika manusia sebagai alat produksi yang memiliki alat (tukang_istilah bagi Gramsci) untuk menghasilkan produk menyadari bahwa mereka membutuhkan kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain adalah kebutuhan akan pemenuhan hidup karena tanpa kehadiran orang lain kebutuhan hidup tidak akan tercapai.

4 comments:

Kelana said...

sejarah perkembangan masyarakat yang di tafsir marx pada pisau analisa ekonomi berujung pada masyarakat komunal maderent atau komunisme.
masyarakat kenekes sebagai model masyarakat ideal pada masa komunal primitif yang coba di tawarkan oleh marx sebagai jawaban akan perkembangan objektif sejarah, yang bergeser karena kontradiktif internal kapitalisme. 1857-1930 sampai 2009 sampai sekarang tidak menjawab rah objektif sejarah marx.
maka muncul orang orang seperti Lenin Gramsci Tan malaka sampai kawan kawan yang masih percaya bahwa perubahan bukan di tunggu atau jatuh dari langit--melainkan ia proses perebutan secara "paksa" dengan dorongan situasi objektif nya.
hari ini situasi objektif nya seang berlangsung (great depresion--yang di mulai akhir 2008an sampai hari ini).
manusia tidak bebas nilai--artinya ia memilih. dan pilihanya hanya menyejarah atau menjadi sejarah.

Unknown said...

Manusia membuat sejarah, tetapi tidak atas dasar pilihannya sendiri...bukannya begitu Bang Iken....hehehe; mudah2an gw salah sih

Ratu Adil said...

Marx itu orang yang utopis. Inggris, tempat Marx menawarkan gagasan-gagasannya hingga saat ini masih menjadi salah satu negara kapitalis terbesar di dunia. Justru Komunisme malah diterapkan pertama kali di Uni Soviet oleh lenin. Skrg saja Rusia sudah diragukan lagi ideologi komunismenya. Yang lebih menyedihkan lagi, kehidupan keluarga dan pribadi Marx mengalami kegagalan. Lalu, bagaimana Marx yang tidak pernah mengaku dirinya Marxis bisa mengatur masyarakat dan menciptakan masyarakat tanpa kelas sesuai apa yang dicita-citakannya?
Satu hal lagi, di dalam buku Das Kapital Marx tidak pernah menyebutkan bahwa Komunisme harus lahir dari revolusi dengan kekerasan dan berdarah.
Terlalu ironis jika memandang pemuda-pemuda sok revolusioner yang miskin prestasi dan bahkan berteriak atas nama rakyat dengan mulut bau alkohol murahan.
Lakukanlah yang terbaik untuk diri kita dulu, baru memberi yg terbaik bagi orang lain. Buruh dan tani tidak perlu dibela oleh pemabuk dan pemuda revolusioner bodoh.

Salam,
Manusia Bebas

Anonymous said...

bagus tulisannya. buat refleksi aja. gak penting mau bagaimana caranya. buat "om yang suka bebas". kata deng xiaoping gini "mau kucing hitam atau putih jika dapat menangkap tikus, maka ia tetap kucing". jadi meskipun si pemabuk itu sok2 ngebela, masih mending om. dari pada yang sehat akal, dan fisik serta mengaku beragama diam saja. kayanya tuhan berkata sepeti ini dalam firmnannya " Allah akan mengubah suatu kaum jika, kaum itu mau berubahnya".

salam,
tong kosong nyaring bunyinya.