Tragedi Woyla

Wednesday, 21 July 2010


Pembajakan Pesawat Garuda DC 9, Pembajakan Pesawat Pertama di Indonesia

Pada tanggal 28 Maret 1981, lima orang teroris, yaitu Zulfikar, Mahrizal, Wemdy, Abdullah Mulyono, Ali Yusuf dan Ma'ruf yang mengaku sebagai kelompok Islam ekstermis “Komando Jihad” telah melakukan pembajakan di dalam pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla yang berisi 48 orang penumpang. Pesawat tersebut terbang dari Jakarta pada pukul 08.00 WIB, lalu transit ke Palembang, dan akan terbang lagi ke Medan dengan perkiraan waktu tiba, yaitu 10.55 WIB.

Pembajakan mulai terjadi ketika pesawat yang dikemudikan oleh Kapten Herman Rante baru saja terbang dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang setelah transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan. Setelah lepas landas, dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata. Satu lagi berdiri di jalan antara tempat-duduk pesawat. Pada pukul 10.10, para pembajak yang memegang senjata api berhasil menguasai pesawat tersebut. Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka, tetapi pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar pesawat, dan kemudian pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar dan terbang lagi ke Thailand atas paksaan teroris dan penerimaaan pemerintah Thailand untuk mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Para pembajak menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, segera dibebaskan. Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Setelah peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam hukuman mati. Selain itu, para pembajak juga menuntut uang sebesar US$ 1,5 Juta dan sebuah pesawat untuk pembebasan tahanan serta untuk terbang ke suatu tempat yang dirahasiakan. Mereka juga mengancam bahwa pesawat tersebut telah dipasangi bom dan tidak segan-segan untuk meledakkannya.
Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206 (Woyla) yang berbunyi “..being hijacked, being hijacked”. Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta, berita yang mengejutkan petugas keamanan karena pada saat bersamaan juga diadakan latihan gabungan yang melibatkan semua unsur pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera. Berita tersebut diterima Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo yang masih berada di Jakarta. Sudomo langsung meneruskan berita tersebut kepada Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani pun langsung menghubungi Asrama Kopasandha (Sekarang Kopassus) dan diterima oleh Asisten Operasi Kopasandha Letkol Infanteri Sintong Panjaitan. Benny memberitahu tentang dibajaknya pesawat Garuda DC-9 yang masih belum jelas berapa pembajaknya, apa motif pembajakannya dan kemana tujuan pesawat tersebut.
Sementara itu, di Jakarta pada pukul 19.25, Kepala Bakin (sekarang BIN), Jenderal Yoga Sugomo berangkat ke Bangkok. Ia mendapat berita bahwa pembajak pesawat tersebut berjumlah lima orang. Mereka semua bisa berbicara Indonesia, memegang senjata api, granat, dan mungkin dinamit. Mereka menuntut dibebaskannya tahanan atas kasus peristiwa Cicendo yang dilakukan oleh komplotan Warman beserta Komando Jihad. Para tahanan diminta untuk diterbangkan keluar Indonesia dan tempatnya dirahasiakan serta dengan diberikan uang sebesar 1, 5 juta dolar AS. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka lima orang pembajak tersebut akan meledakan pesawat beserta seluruh penumpangnya.
Sabtu, sekitar jam sepuluh malam, Kolonel Teddy Rusdi, Benny Moerdani dan Sudomo berhasil menemui Presiden Soeharto di Cendana. Mereka membicarakan langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi masalah pembajakan tersebut. Kesimpulannya, pembajakan tersebut akan diselesaikan dengan melancarkan sebuah operasi militer dimana penanggung jawab operasi ini adalah Benny Moerdani.
Pada minggu malam, pemerintah Thailand memberikan izin bahwa pasukan anti terror Indonesia boleh mendarat Indonesia. Meskipun sebelumnya pemerintah Thailand bersikeras agar pasukan mereka yang mengatasi pembajakan tersebut. Para pasukan yang ditugaskan untuk melakukan operasi militer yang bertujuan membebaskan pesawat yang dibajak, terbang ke Thailand dengan menggunakan pesawat DC-10 dengan berkamuflase menjadi pesawat yang baru terbang dari Eropa. Benny memerintahkan agar serangan dimulai sebelum fajar. Ia juga meminta agar petugas Garuda di Don Muang menyiapkan 17 peti mati.
Pada pukul 02.45, serangan dimulai. Pintu didobrak oleh pasukan Kopasandha dan mereka pun langsung melepaskan tembakan ke arah para pembajak pesawat tersebut. Dengan serangan mendadak tersebut, akhirnya pesawat berhasil dikuasai oleh Kopasandha pada Selasa dini hari tanggal 31 Maret 1981.
Dalam operasi militer yang singkat tersebut, seluruh teroris berhasil ditembak. Tiga diantaranya langsung tewas dan dua sisanya terluka parah. Namun, Kapten Herman Rante, pilot pesawat DC 9 dan Achmad Kirang, anggota Kopasandha terluka parah akibat terkena tembakan para teroris. Satu hal yang cukup melegakan adalah bahwa tidak ada satu pun penumpang yang tewas.
Begitu pesawat berhasil dikuasai, Benny langsung menyambar mike dan langsung mengatakan kepada Jenderal Yoga Sugomo (Kepala BAKIN saat itu) bahwa pesawat telah berhasil dikuasai. Namun, Jenderal Yoga merasa kaget karena ia tidak mengira bahwa pesawat akan berhasil dikuasai secepat itu.
Pesawat Garuda DC 10 Sumatera yang mengangkut para pasukan anti teror Kopasandha meninggalkan bandara Don Muang, Thailand pada hari Selasa pukul 05.00 pagi. Dua pembajak yang luka parah dan sempat mengalami perawatan tim medis dari Kopasandha tidak berhasil diselamatkan dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian kelima jenazah teroris tersebut ikut diterbangkan ke Jakarta pada pagi hari itu juga. Sementara itu, Achmad Kirang meninggal dunia di rumah sakit Bhumibhol, Bangkok. Lalu, enam hari setelah operasi pembebasan pesawat Woyla tersebut, Kapten Herman Rante juga meninggal dunia di Bangkok. Sekitar pukul 08.00 pagi, pesawat Garuda DC 10 Sumatera akhirnya tiba di Jakarta. Keberhasilan pasukan Kopasandha dalam mengatasi pembajakan tersebut sudah tersiar lewat siaran radio di Indonesia. Pasukan Kopasandha yang berhasil melakukan operasi pembebasan pesawat Woyla tersebut, telah menjadi embrio pasukan anti terror Kopassus yang dikenal dengan nama Sat 81 Gultor. Menurut salah satu anggota Kopasandha yang ikut dalam operasi pembebasan tersebut, kunci keberhasilan dari operasi tersebut adalah serangan dengan cara tiba-tiba. Menurutnya, negosiasi dengan para pembajak adalah nomor dua.
Itulah sepenggalan kisah pembajakan dan operasi pembebasan pesawat Garuda DC 9. Pembajakan tersebut merupakan yang pertama terjadi di Indonesia dan para pasukan anti terror Kopasandha boleh berbangga diri karena operasi pembebasan tersebut berhasil dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sangat cepat sekali, yakni hanya dalam hitungan menit.
Sementara itu, Imran Muhammad bin Zein yang dianggap sebagai otak dari peristiwa Cicendo dan pembajakan tersebut akhirnya diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dijatuhi hukuman mati dengan tuntutan atas tindakan subversinya.

Sumber:
Pour, Julius. Benny: Tragedi seorang loyalis. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. 2007
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/12/07/LN/mbm.19851207.LN37774.id.html


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......