Thursday, 21 October 2010
Mulai tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Sejak hari itu, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto secara bertahap mulai membangun kekuatan tandingan.[1] Soeharto dengan sigap berhasil memulihkan situasi keamanan dengan mengambil langkah-langkah strategis. Dapat dikatakan ia adalah satu-satunya orang yang paling cepat membaca situasi peta politik pasca gerakan coup yang gagal itu. Pada tanggal 27 Oktober bertempat di guesthouse istana, di depan wakil-wakil partai politik, Presiden memperingatkan besarnya bahaya yang sedang dihadapi sambil memberikan pengertian bahwa reaksi yang diberikan sebagian masyarakat atas terjadinya G30S sudah berlebihan.[2] Walaupun belum ditemukan bukti yang cukup akurat, namun PKI sudah dituduh sebagai penanggung jawab utama G30S yang mengakibatkan kematian enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Akhirnya tuntutan terhadap Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI berikut organisasi massanya mulai marak dimana-mana.
Demo mahasiswa turun ke jalan secara besar-besaran dimulai pada 10 Januari 1966. Pada hari itu mahasiswa berkumpul di halaman FKUI.[3] Kemudian hadirlah Kolonel Sarwo Edie Wibowo, Komandan RPKAD, lalu ditemani oleh Mayor C.I. Santoso, salah satu komandan batalionnya yang terkenal dalam penumpasan G30S. Saat itu mahasiswa mulai menyampaikan tuntutannya yang dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), ketiga tuntutan itu antara lain : bubarkan PKI, turunkan harga-harga, dan berhentikan Kabinet Dwikora. Dalam setiap demo, terkadang terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan pemuda PNI pimpinan Ali Surachman, pendukung Bung Karno, yang melancarkan demo tandingan terhadap KAMI. Selain terjadi demo besar-besaran di setiap kota, diwaktu yang bersamaan juga mulai terjadi pembantaian massal simpatisan PKI di berbagai daerah terutama di Jawa Timur dan Bali. Korban atas pembantaian banyak dari golongan pekerja, semisal, guru yang secara intensif mempengaruhi generasi muda agar mendukung perjuangan PKI.[4]
Akibat peristiwa G30S dan rentetan dinamika politik sesudahnya, termasuk demonstrasi oleh mahasiswa, Presiden Soekarno secara perlahan mulai kehilangan kekuasaannya. Perannya sebagai kepala negara semakin terenggut lagi ketika mengeluarkan Supersemar pada 11 Maret 1966, yang artinya secara tidak langsung menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto sebagai pengemban surat tersebut. Sepak terjang Soeharto semakin tidak terbendung, meskipun Presiden Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah surat penyerahan kekuasaan, namun Soeharto terus menggunakannya seolah-olah surat itu adalah surat penyerahan kekuasaan. Penyerahan pemerintahan kepada Soeharto baru terlaksana pada 22 Februari 1967. Dituntaskan melalui sidang istimewa Maret tahun yang sama, MPRS mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Titel penuh Soeharto sebagai Presiden baru secara pasti diberikan setahun kemudian lewat suatu keputusan MPRS pada 27 Maret 1968.[5] Soeharto melakukan kebijakan politik pertamanya dengan pencopotan para pejabat pemerintah yang dianggap sebagai antek atau kroni Soekarno. Banyak yang mengistilahkan kebijakan politik tersebut sebagai De-soekarnoisasi.
Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan politik.[6] Prioritas pertama Soeharto adalah menegakkan kekuasaan atas seluruh wilayah negara dan meyakinkan Barat untuk memulai pengaliran bantuan keuangan dan investasi untuk menyelamatkan ekonomi yang mengalami kemerosotan tajam.[7] Rehabilitasi ekonomi menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan Orde Baru demi terpeliharanya dukungan rakyat yang menjadi legitimasi kekuasaannya.[8] Soeharto membuang gagasan “politik sebagai panglima” warisan Soekarno dan merubahnya dengan gagasan “ekonomi sebagai panglima. Lembaga eksekutif selalu memegang peranan pokok dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan peranan legislatif akhirnya kurang begitu penting. Dengan batas-batas tertentu, akhirnya Soeharto dapat menjaga kelangsungan peranannya di bawah simbol-simbol pembangunan yang segera akan ia proses.
Kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soeharto setelah resmi dilantik sebagai Presiden RI kedua dinamakan “Kabinet Pembangunan”. Kabinet ini dibentuk pada 6 Juni 1968.[9] Saat itu Soeharto berkeyakinan, “Kabinet Pembangunan I yang merupakan kombinasi antara tenaga-tenaga ahli dari lingkungan universitas dan ABRI, mengawali era baru kehidupan bangsa Indonesia”.[10] Soeharto memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama dalam setiap kebijakan yang ia jalankan. Pada 15 Juni kemudian diangkatlah beberapa orang teknokrat ekonom terkemuka sebagai tim ahli ekonomi presiden. Mereka ini umumnya merupakan staf pengajar senior di Fakultas Ekonomi UI yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Widjojo termasuk dalam generasi mainsteam atau kelompok arus utama yang berafiliasi dengan Bank Dunia. Kerja sama erat antara Bank Dunia dan para pejabat Indonesia ini merupakan bagian dari “hubungan khusus” bank tersebut dengan Indonesia. Sebagai contoh lain, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak perlu menandatangani surat pernyataan (letter conditionality) resmi, untuk mendapatkan pinjaman Bank Dunia.[11]
Pemerintahan Orde baru pimpinan Soeharto juga menciptakan paradigma baru dalam sektor ekonomi yang sebagian besar merupakan antitesis dari paradigma Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional dengan memperoleh dukungan negara Barat. Pragmatisme disini didefinisikan sebagai tindakan politik yang menitikberatkan pada azas manfaat tanpa terpengaruh oleh ideologi tertentu (mendasar). Pragmatisme ekonomi ditunjukkan lewat penerapan kebijakan makro ekonomi khas barat (neo-liberal) yang menjadi rujukan bagi strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh Soeharto adalah strategi pembagunan yang berlandaskan pada pemikiran neoklasik kuno yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama. Dalam paradigma ini diyakini bahwa pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah, baik dengan sendirinya atau melalui campur tangan pemerintah.[12]
Tahun 1969 bisa dikatakan sebagai masa akhir transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Inflasi akhirnya benar-benar dapat dikendalikan.[13] Tak dapat disangkal bahwa salah satu pilar keberhasilan rezim ini adalah interaksi mereka dengan sistem ekonomi internasional yang kapitalistik. Selanjutnya Orde Baru mulai memfokuskan perhatian utamanya dari stabilisasi ekonomi menuju pembangunan dengan menetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I), untuk tahun 1969-1974. Di tahun yang sama, Orde Baru juga telah mampu menyelesaikan masalah lama dengan bergabungnya Irian sebagai provinsi ke-26 RI. Bergabungnya Irian ke pangkuan Indonesia amat direspon positif oleh pihak Barat terutama Amerika yang telah bersiap untuk mengeksploitasi SDA di wilayah itu. Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemerintahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer.
Stabilitas ekonomi yang telah diperoleh Orde Baru selanjutnya mulai melahirkan demokrasi dengan gaya otoriterianisme. Semua hal seolah dituntut ke dalam ide pembagunan ekonomi. Stabilitas politik diprioritaskan pada awal Orde Baru karena pengalaman ketidakstabilan sistem politik demokrasi liberal pada kurun waktu 1945-1959, bahkan juga dalam periode demokrasi terpimpin 1959-1966.[14] Sistem politik di bawah Orde baru secara tegas diterapkan dalam konsep integralisme total. Hasilnya Soeharto tidak menginginkan adanya tempat bagi oposisi gaya Barat di alam demokrasi Pancasila. Menjelang Pemilihan Umum 1971 sangat terlihat bahwa Soeharto ingin menjadikan Golkar sebagai pemenang dalam ajang tersebut. Hal ini jelas terlihat ketika persiapan menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum, banyak dari pegawai pemerintah yang diarahkan untuk mendukung dan memenangkan Golkar di daerah pemilihan mereka. Golkar yang pada saat itu tidak ingin disebut sebagai partai politik akhirnya memperoleh kemenangan besar yaitu 63,8 % suara pemilih.
Orde Baru kemudian menjadi rezim yang sungguh sentralistik, terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas ekonomi dan politik. Secara perlahan Soeharto mulai memasung hak-hak politik rakyatnya dengan ketat. Orde Baru juga mengisolasi masyarakat melalui perundang-undangan dan keputusan yang memungkinkan pembatasan bagi kegiatan organisasi massa. Soeharto amat gigih untuk menciptakan sistem politik terbaru demi mengatasi keragaman pandangan yang memecah belah iklim politik di tanah air. Dengan tegas, Soeharto menolak ide mengenai persaingan ideologi, baginya model politik yang demikian tidak cocok untuk Indonesia. Di lain pihak, masyarakat semakin hari semakin terasingkan dari lingkaran kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Media massa sebagai wadah kekuatan informasi yang strategis pun dikebiri oleh pemerintah dan diposisikan menjadi kolaborator struktural bagi negara. Bagi beberapa pengkritik, seperti Goenawan Mohamad, “Kita membutuhkan suatu pemerintah pembangunan yang kuat, tapi tak boleh dilupakan, bahwa kekuatan itu juga harus ditunjukan oleh penguasa sendiri, antara lain dengan bersikap tenang menanggapi kritik”.[15]
Munculnya Angkatan Darat ke posisi dominan yang tak tertandingi dalam pemerintahan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak terhindirkan.[16] Sebagaimana diketahui, dalam doktrin TRI UBAYA GAKTI hasil seminar TNI-AD I, untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin Dwifungsi ABRI.[17] Bagaimana ABRI memandang peran politisnya bisa diperoleh dari penafsiran militer atas Pancasila sebagai ideologi “integralistik”. Para perwira senior menyatakan bahwa karena budaya Indonesia itu “integralistik”, maka peran sosiopolitis ABRI yang permanen bisa dibenarkan.[18] Selanjutnya Soeharto sangat selektif dalam memelih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “elite militer”, muncul nama-nama seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardani, Soedomo, Sutopo Juwono, dan Soemitro dalam jajaran pemerintahan elite negeri ini. Tak jarang terjadi konflik dalam tubuh pemerintahan Soeharto akibat penumpukan para petinggi militer yang ia ciptakan sendiri.
Persaingan faksi militer di dalam pemerintahan terbawa sampai ke urusan publik, terutama mengenai penanaman modal Jepang di Indonesia. Jepang mengambil 53% ekspor Indonesia pada tahun 1973 (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok lebih dari 29% impor Indonesia. Di samping itu, Jepang lebih menonjol karena investasi mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi para pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia, dibantu oleh orang yang dekat dengan istana kepresidenan. Kritik dilontarkan terutama kepada Ali Moertopo dan salah satu kolega terdekat Soeharto lainnya yaitu Mayjen. Sudjono Humardani. Keduanya dianggap sebagai penasihat kebijakan Presiden dan juga perantara bagi para investor asing (terutama Jepang) yang mencari kebaikan hati pemerintah.
Kedatangan PM Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada Januari 1974 dijadikan momentum bagi para Mahasiswa untuk demonstrasi menolak masuknya modal asing. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan Mahasiswa tidak berhasil menorobos masuk pangkalan udara tersebut.[19] Hal tersebut menimbulkan kemarahan para Mahasiswa dan puncaknya menimbulkan kerusuhan serta huru – hara di Jakarta. Bagi Soeharto kerusuhan Malari telah mecoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan tamu Negara, PM Jepang.[20] Banyak opini yang berkembang bahwa peristiwa kerusuhan tersebut hanyalah persaingan faksi ditubuh elite militer. Rivalitas utama terjadi antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Presiden Soeharto sendiri pada saat itu lebih cenderung merapat kepada kubu Ali Moertopo sang anak emasnya. Hal ini terbukti dengan pencopotan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan didepaknya Sutopo Juwono dari kepala Bakin.
Rasa tidak puas masyarakat terhadap rezim Orde Baru mulai merebak di pertengahan tahun 1970-an. Kritik yang muncul ketika itu mengenai kebijakan pembangunan yang menurut mereka terlampau kapitalistik dan hanya pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan. Demokrasi dalam kehidupan bernegara juga ditekan oleh pemerintah yang cenderung semakin otoriter. Pers dan media massa dibatasi perannya lewat kebijakan pembreidelan. Masyarakat ditakuti-takuti oleh aparat keamanan terutama militer yang telah menguasai seluruh kehidupan sipil, lalu teror yang sering dilakukan terhadap kaum intelektual di berbagai kampus.
Selanjutnya semua hal ini mejadi sebuah sikap status quo yang amat dinikmati oleh Soeharto beserta pembantu-pembantunya dalam tahapan menuju kekuasaan yang terus mereka pegang selama puluhan tahun berikutnya.
Catatan Kaki
[1] James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap Di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S Dari Perspektif Lain, (Jakarta: Kompas, 2006) Hal. 177.
[2] H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, (Jakarta: Visimedia, 2008) Hal. 234.
[3] Firman Lubis, Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahsiswa, (Jakarta: Masup Jakarta, 2008) Hal. 242.
[4] Tim Redaksi, 10 Kisah Genocide, (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008) Hal. 95.
[5] John D. Legge, Sukarno: Biografi Politik, (Jakarta : Sinar Harapan, 2001) Hal. 466.
[6] Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000) Hal. 20.
[7] David Bourchier dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Sosial Dan Politik Indonesia : Periode 1965-1999, (Jakarta: Grafiti, 2006) Hal. 38.
[8] Denny B.C. Hariandja, Birokrasi Nan Pongah: Belajar Dari Kegagalan Orde Baru, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999) Hal. 67.
[9] Firman Lubis, Jakarta 1970-an: Kenangan Sebagai Dosen, (Jakarta : Ruas, 2010) Hal. 21.
[10] G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, Dan Tindakan Saya, (Jakarta :PT Citra Lamtoro Gung Persada) Hal. 238.
[11] Jeffrey A. Winters, Dosa-Dosa Politik Orde Baru, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 15.
[12] Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan, (Jakarta : Cides, 1996) Hal. 50.
[13] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005) Hal. 582.
[14] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 2000) Hal. 22.
[15] “Melayani, Dengan Kritik”, Tempo, 29 Januari 1972.
[16] Harold Crouch, Militer Dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999) Hal. 276.
[17] Soebijono dan A.S.S. Tambunan, Dwifungsi ABRI: Perkembangan Dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997) Hal. 35.
[18] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam Dan Ideologi Toleransi, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002) Hal. 225.
[19] Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007). Hal. 81.
[20] Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, (Yogyakarta: Kompas, 2009). Hal. 127.
Baca Selengkapnya......