Peristiwa Malari 1974 & Rivalitas Elite Militer

Saturday, 22 May 2010


Sampai beberapa tahun setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Pada akhirnya, Soeharto membangun apa yang dikenal dengan “Orde Baru” Indonesia, untuk membedakannya dengan “Orde Lama” dari masa pemerintahan Soekarno. Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok – kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu. Namun, dalam waktu beberapa tahun, para elite Orde Baru yang intinya terdiri atas faksi militer mulai menerapkan sistem sentralisme kekuasaannya. Militer yang lebih terpusat kini mengambil alih pemerintahan daerah. Pada tahun 1968, 17 dari 25 provinsi diperintah oleh perwira militer.

Orde Baru Soeharto bukan rezim militer, tapi memberikan kedudukan amat istimewa kepada angkatan bersenjata yang telah membantunya naik ke tampuk kekuasaan dan menjamin stabilitas. “ABRI” kata Soeharto, Jelas sudah menyatakan berdiri mendukung penuh Orde Baru. Sikap ABRI tersebut tidak hanya omongan, tapi akan dilaksanakan sungguh – sungguh.” Sebaliknya Orde Baru membentuk dan memperdalam peran angkatan bersenjata dalam berpolitik.[1] Keadaan tentara sendiri pada saat itu tetap sempit secara sosiologis (didominasi perwira asal Jawa yang memimpin 13 dari 17 Kodam pada 1970), curiga terhadap politik Islam, dan makin kosmopolitan.
Ketika stabilitas politik dan keamanan dalam negeri sudah bisa dikendalikan dengan baik lewat kinerja sentralistik ABRI, Orde Baru mulai membuka kembali tatanan hubungan luar negeri mereka. Soeharto dalam waktu seketika menggalangkan penanaman modal asing dengan Amerika Serikat dan Jepang sebagai investor utama di Indonesia. Selanjutnya Soeharto juga sangat selektif dalam memilih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “elite militer”, muncul nama – nama seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardani, Soedomo, Sutopo Juwono, dan Soemitro dalam jajaran pemerintahan elite negeri ini.
Persaingan faksi militer di dalam pemerintahan terbawa sampai ke urusan publik, terutama mengenai penanaman modal Jepang di Indonesia. Jepang mengambil 53% ekspor Indonesia pada tahun 1973 (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok lebih dari 29% impor Indonesia. Di samping itu, Jepang lebih menonjol karena investasi mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi para pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia, dibantu oleh orang yang dekat dengan istana kepresidenan. Kritik dilontarkan terutama kepada Ali Moertopo dan salah satu kolega terdekat Soeharto lainnya yaitu Mayjen. Sudjono Humardani, yang dianggap sebagai pembimbing mistis Presiden dan juga perantara bagi para investor asing (terutama Jepang) yang mencari kebaikan hati pemerintah.[2]
Kedatangan PM Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada Januari 1974 dijadikan momentum bagi para Mahasiswa untuk demonstrasi menolak masuknya modal asing. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan Mahasiswa tidak berhasil menorobos masuk pangkalan udara tersebut.[3] Hal tersebut menimbulkan kemarahan para Mahasiswa dan puncaknya menimbulkan kerusuhan serta huru – hara di Jakarta. Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka – luka, 755 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak berat. Peristiwa Malari dapat dikatakan sebagai kerusuhan yang paling buruk di ibu kota sejak kejatuhan Soekarno. Bagi Soeharto kerusuhan Malari telah mecoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan tamu Negara, PM Jepang. [4]
Banyak opini yang berkembang bahwa peristiwa Malari hanyalah persaingan faksi ditubuh elite militer. Rivalitas utama terjadi antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Ali Moertopo beranggapan bahwa Soemitro bertanggung jawab atas kerusuhan yang telah memporak – porandakan Jakarta. Ali menambahkan bahwa Soemitro bermurah hati kepada para demonstran atau berusaha menggunakan krisis negara untuk kepentingan politiknya. Soemitro turut membela diri setelah mendapatkan laporan dari bawahannya bahwa kerusuhan tersebut dilakukan oleh orang – orang eks DI/TII binaan Ali Moertopo.
Presiden Soeharto sendiri pada saat itu lebih cenderung merapat kepada kubu Ali Moertopo sang anak emasnya. Hal ini terbukti dengan pencopotan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan didepaknya Sutopo Juwono dari kepala Bakin. Kebijakan pencopotan Soemitro sendiri banyak disesalkan oleh para pengamat, karena dengan demikian kekuasaan Ali Moertopo semakin menanjak. Pasca kejatuhan Soemitro dari jajaran tinggi militer. Setelah rivalnya jatuh, Ali Moertopo memperoleh jabatan strategis dan intelejen penting dalam hirarki Orde Baru.
Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa persaingan dalam elite milter dalam peristiwa Malari merupakan simbolisasi kekuatan sentral ABRI dalam kehidupan bernegara. Bahkan peristiwa diatas dapat dianalogikan sebagai efek bola blilliard karena banyak dari elite – elite militer secara bertahap akhirnya dibekukan posisinya oleh Soeharto.

Catatan Kaki

1. R.E. Elson, The Idea Of Indonesai, (Jakarta : Serambi, 2009). Hal. 386.
2. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Jakarta : Serambi, 2005).
Hal. 588.
3. Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, (Yogyakarta : Ombak, 2007). Hal. 81.
4. Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, (Yogyakarta : Kompas, 2009). Hal.
127.


DAFTAR PUSTAKA


Adam, Asvi Warman, Seabad Kontroversi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2007.
Adam, Asvi Warman, Membongkar Manipulasi Sejarah, Yogyakarta : Kompas, 2009.
Elson, R.E, The Idea Of Indonesia, Jakarta : Serambi, 2009.
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta : Serambi, 2005.
“Malari 1974 Dan Sisi Gelap Sejarah”, Kompas (16 Januari 2003).

Rudi Hermanto (Pend Sejarah T.A 06)


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Revolusi ala Pelajar

Wednesday, 19 May 2010


I. Pendahuluan
Revolusi adalah sebuah perubahan sosial yang cepat dan mengarah kepada hal-hal yang mendasar.[1] Hal ini menunjukkan bahwa segala hal yang berkaitan dengan revolusi pastilah sesuatu yang ada kaitannya dengan perubahan inti dari suatu negara atau permasalahan. Untuk di Indonesia perubahan mendasar itu adalah perubahan terhadap suatu sistem yang telah lama bertengger di kehidupan masalah sosial, yaitu dari negara terjajah menjadi negara merdeka.

Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya.[2]
Untuk Indonesia sendiri, revolusi dimuai sejak tahun 1945 sampai 1950, hal ini berdampak pada perubahan-perubahan sosial yang terjadi di msyarakat. Selain itu hal ini merupakan dampak dari euforia kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam melakukan revolusi diperlukan figur seorang pemimpin, dan untuk Indonesia figur itu terdapat dalam diri Bung Karno selaku proklamator dan Presiden Republik Indonesia yang peratama.
Dalam perjalanannya revolusi di Indonesia dibagi atas dua jalur atau dua sisi. Sisi yang pertama adalah sisi diplomasi dan sisi lainnya adalah pertempuran fisik. Untuk maslah diplomasi dipegang oleh pemerintah sepenuhnya, hal ini terlihat dari banyaknya perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia, baik dengan Jepang ataupun dengan Belanda.
Sedangkan dalam bidang revolusi fisik, peran tentara lah yang paling sangat dibutuhkan. Meskipun telah banyak melakukan perundingan, namun masih banyak rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada saat itu tentara yang sangat aktif adalah TKR atau Tentara Keamanan Rakyat yang berada di seluruh wilayah Indonesia.
Pada kesmpatan ini saya ingin membahas masalah elemen penyusun dalam TKR itu sendiri. TKR terdiri dari para tentara terlatih sperti KNIL, PETA dan Heiho, namun masih ada elemen yang terdapat didalam TKR yang terkadang terlupakan yaitu Tentara Pelajar. Meskipun mereka adalah para pelajar yang kebnayakan masih belia, namun sikap nasionalisme mereka sangatlah tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1945 sampai 1950 yang diisi oleh kalangan pelajar atau anak muda.
Pada kesempatan ini saya tidak akan membahas jauh mengenai tentara pelajar, namun saya akan mencoba menjelaskan peran dari tentara pelajar ini sejaka awal kemerdekaan samapai tahun 1947 atau setelah meletusnya Agresi Militer I yang dilakukan oleh Belanda guna untuk menguasi Indonesia kembali.
Selain itu dalam pembahasan ini lebih menekankan mengenai tentara pelajar yang berada di Pulau Jawa, hal ii terkait dengan titik fokus mengenai tentara pelajar yang hanya berada di pulau Jawa, meskipun banyak juga anggota tentara pelajar yang bukan berasal dari Jawa.

II. Isi
1. Awal Terbentuk
Peran pelajar dalam revolusi di Indonesia sangatlah penting, karena dari mereka Indonesia banyak memiliki cendikiawam-cendikiawan muda yang berbakat, namun itu hanya sebatas bidang diplomasi. Selain untuk diplomasi, ternyata pelajar juga berguna bagi perjuangan fisik, hal ini dibuktikan dengan adanya tentara pelajar yang terbentuk sekitar tahun 1943.
Pada awal terbentuknya, tentara pelajar lebih bersifat sosial. Mereka hanya membantu dalam bidang kemanusiaan seperti membantu PMI, pembuatan dapur umum, dan bantuan terhadap bencana alam ataupun bencana perang. Namun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tentara pelajar berpindah haluan menjadi oraganisasi yang berurusan dengan masalah pertahanan dan keamanan guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diraih.[3]
Sebenarnya, sebelum kemerdekaan pun tentara pelajar telah melakukan perlawanan terhadap Jepang, hanya saja sifatnya masih kecil. Hal ini diakibatkan karena perlakuan Jepang yang semena-mena. Perlawanan melawan Jepang yang dimaksud bukanlah dengan jalan militer, awalnya mereka secara sembunyi-sembunyi merampok orang-orang keturunan Jepang guna membantu rakyat Indonesia. Setelah kemerdekaan mereka baru melakukan pergerakkan secara terang-terangan dengan melucuti senjata semua tentara baik Jepang ataupun Belanda.[4]
Tentara pelajar sendiri adalah tentara yang dibentuk oleh Jepang[5], tujuan awalnya adalah membantu Jepang dalam perang Pasifik. Namun lambat laun keadaan ini berubah, seiring dengan kesadaran kemerdekaan yang tumbuh dalam kalangan pelajar, fungsi tentara pelajar berubah menjadi tentara yang melawan Jepang. Tentara pelajar yang dipilih biasanya adalah para pelajar yang berumur 15 sampai 17 tahun, artinya masih berada di tingkat SMTP atau SMTA.[6]

Berikut ini adalah badan yang menaungi gerakkan pelajar di pulau Jawa:
1. GASEMMA (Mataram)
2. GASEMSA (Surakarta)
3. GASEMSE (Semarang)
4. GASEMBA (Banyumas)[7]
Namun dari semua organisasi ini, GASEMMA adalah organisasi yang memulai perjuangan melalui peperangan melawan Jepang, meskipun masih bersifat sembunyi-sembunyi. Keahlian yang mereka dapat dari Jepang lah yang mereka gunakan untuk melawan Jepang. GASEMMA berpusat di Jogjakarta, ini merupakan cikal bakal dari tentara pelajar yang lebih modern nantinya.[8]
Dilihat dari banyaknya pesebaran organisasi perjuangan pelajar hanya berpusat di pulau Jawa, hal ini dikarenakan hanya daerah yang ada di Pulau Jawa yang banyak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Namun bukan hanya orang jawa yang mengisi barisan perjuangan pelajar tersebut, melainkan semua pelajar dari seluruh penjuru Indonesia, hal ini dikarenakan di Jawa Tengah telah berdiri organisasi perjuangan yang telah bersifat global yaitu Ikatan Pelajar Indonesia atau IPI.
Sebenarnya pembentukkan tentara pelajar sebelumnya telah ada, namun karena sifatnya masih kedaerahan. Hal ini lah yang membuat perjuangan para pelajar tidak begitu terlihat. Sebagai contoh peristiwa di Hotel Oranye Surabaya, dalam peristiwa itu terjadi perobekkan bendera Belanda, sehingga menjadi bendera Indonesia (Merah Putih), hanya saja peran tentara pelajar masih belum terlihat karena mereka datang terlambat.[9] Meskipun begitu hal ini menunjukkan bahwa tentara pelajar mulai ada walu masih bersifat lokal.
Tentara pelajar yang bersifat kedaerahan ini bukanlah tentara pelajar yang tergabung dalam dalam IPI, tentara ini merupakan gabungan pelajar yang mau ikut dalam perjuangan sebagai pelindung kemerdekaan yang tergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat). BKR ini bersifat kedaerahan karena BKR yang terbentuk tidak mencakup seluruh bagian negara Indonesia, melainkan hanya daerah yang berada di Pulau Jawa.[10]
Karena anggotanya terdiri dari orang-orang Jawa, hal ini lah yang membuat pembentukkan BKR ini menuai banyak kritikan. Kritikan ini muncul karena orang-orang di luar jawa beranggapan bahwa BKR khusus pelajar hanya terdiri dari orang-orang Jawa. Hal ini dikarenakan orang-orang yang mengenyam pendidikan dan cendikiawan-cendikiawan muda lebih banyak berada di pulau Jawa, karena alasan ini lah BKR lebih banyak orang Jawa yang mengisi.[11]
Seperti yang telah dijelaskan diatas, tentara pelajar adalah tentara buatan Jepang yang dilatih untuk membantu Jepangh dalam perang Pasifik. Tentara ini mendapat bantuan dari Heiho dan PETA yang juga merupakan bentukan Jepang. Organisasi ini saling membantu, saat masih berkecimpung di dunia sosial tentara pelajar berguna sebagai pembantu dalam palang merah, namun ketika tentara pelajar telah beralih fungsi menjadi bagian pertahanan dan keamanan, senjata yang mereka dapat merupakan bantuan dari PETA.[12]

2. Tentara Pelajar Diresmikan
Meskipun sejak tahun 1943 sebutan tentara pelajar telah ada, namun sebutan ini belum resmi. Pada waktu itu sebutan yang resminya adalah laskar pelajar atau pejuang pelajar dan merupakan bagian dari IPI-Pertahanan sejak Oktober 1945.[13] Kemudian pada Juli 1946 ditingkatkan menjadi Tentara Pelajar, dan kegiatannya mulai diintegrasikan dengan kegiatan pertahan nasional, yaitu turut aktif di front-front pertahanan untuk mencegah masuknya serdadu Belanda ke wilayah Republik Indonesia.[14]
Front-front tersebut didirikan karena Belanda mulai memasuki wilayah Indonesia dan ingin menguasai atau menjajah Indonesia kembali. Berikut adalah front-front dari tentara pelajar:
1. Jawa Timur, bermarkas di Mojokerto
2. Jawa Barat, bermarkas di Karawang
3. Jawa Tengah, bermarkas di Semarang[15]
Front-front ini lah yang nantinya dianggap sebagai garis depan yang menahan serangan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi sebelum Agresi Militer Pertama, pada saat itu tentara pelajar memberangkatkan 90 orang anggotanya ke front Jawa Timur. Namun banyak tentara pelajar yang gugur dan luka berat, hal ini dikarenakan sedikitnya senjata yang mereka miliki.[16]
Berikut adalah susunan tentara pelajar yang dibawah naungan IPI:
Susunan Pimpinan IPI 1945-1946 awal
Komandan : Suyitno Hardjono
Wakil : Sundoro dan Anto Sulaiman
Bagian wanita : Luki

Sedangkan untuk program kerjanya adalah:
1. Membantu dalam bidang palang merah, dapur umum
2. Menyelundupkan senjata-senjata
3. Mengkoordinasikan pekerjaan pelajar anatar di front dan di sekolah

Sedangkan susunan pimpinan IPI 1946 awal-1946 akhir:
Komandan : Imam Slamet
Wakil : Anto Sulaiman
Staf : Suwarto, Sudarmadi, Rauf, Afdul fatah, Suliantoro Sulaiman
Jawa Timur : Ichsan
Jawa Tengah : Subroto
Jawa Barat : Mahatma

Penyempurnaan
Komandan : Imam Slamet
Wakil : Suwarto, Anto Sulaiman, Ichsan, Mahatma, Abdul Fatah
Resimen Jawa Timur : Isman
Resimen Jawa Tengah : Subroto, Wakil : Achmadi
Resimen Jawa Barat : (Langsung dibawah pimpinan pusat wakil) Insan Kamil, Tatang Sutard

Sedangakan untuk program kerjanya:
1. Menjalankan total people defence
2. Penyusunan basis di pegunungan
3. Memperhebat latihan dengan membuat training centre
4. Usaha roulving system[17]

Setelah IPI menaungi tentara pelajar, maka dibentuk MPP (Markas Pertahanan Pelajar) sebagai upaya peningkatan IPI-Pertahan. Berikut ini adalah susunan pengurus Markas Pertahanan Pelajar.

Susunan Pimpinan MPP
Komandan : Imam Slamet
Wakil : Suwarto, Anto Sulaiman, Ichsan, Mahatma, Abdul Fatah, Suyono

Disempurnakan
Komandan : Imam Slamet
Wakil : Suwarto, Mahatma,
Staf : Martono, Suyono, Sukajat, Sudarmadi

Sementara tugas dari MPP sendiri adalah:
1. People defence
2. Usaha dalam self supporting system
3. Membantu dalam fabricaqe, brand bommen, dan sebagainya
4. Melatih anggota
5. Mengirimkan infiltrasi ke daerah musuh

Setiap MPP sendiri tersusun dari batalyon-batalyon yang tersebar di seluruh wilayah di Jawa. Totalnya sekitar 1000 batalyon, di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Cirebon dan Pekalongan. Seperti yang telah dikatakan diatas, tentara pelajar juga diisi oleh para pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia seperti Sulawesi, Nusa Tenggara dan Aceh.[18]
Meskipun terlihat peta kekuatan tentara pelajar ini terpusat di Jawa, namun pertempuran yang terjadi diluar Jawa juga melibatkan tentara pelajar, contohnya pertempuran di Sulawesi, meskipun di luar Jawa namun tentara pelajar ikut menyumbangkan tenaga walaupun tidak banyak.[19]

3. Persenjataan
Seperti yang telah dijelaskan, untuk persenjataan tentara pelajar mendapatkan bantuan dari Heiho dan PETA. Namun mereka mendapatkan itu setelah mereka tergabung dalam TKR yang nantinya menjadi ABRI tahun 1945.[20] Persenjataan yang lebih lengkap mereka dapatkan dari para mantan personel KNIL dan juga bekas polisi zaman penjajahan.[21]
Namun pada awalnya persenjataan tentara pelajar hanya berupa bambu runcing (senjata khas gerilyawan Indonesia). Hal ini berubah saat mereka sudah mulai berani untuk melucuti senjata para tentara Jepang dan serdadu Belanda yang ada di Indonesia. Mereka juga memiliki bengkel senajata yang berada di lereng pegunungan .[22]
Bengkel ini digunakan untuk memperbaiki senjata-senjata yang telah rusak, untuk bahannya mereka dapatkan dari hasil bekas tentara Jepang dan Belanda. Kadang senjata yang mereka dapatkan sudah tidak layak pakai, sehingga banyak senjata yang macet dan terbuang begitu saja.[23]

III. Kesimpulan
Setelah melakukan studi kepustakaan, saya berkesimpulan bahwa pada awalnya tentara pelajar atau yang biasa disebut dengan perjuangan pelajar hanya berkecimpung dalam dunai sosial. Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan mereka dalam dunia militer sehingga mereka tidak dapat melakukan kegiatan pertahanan dan keamanan.
Namun semenjak Indonesia merdeka dan telah mendapatkan banyak pelajaran dari Jepang terutama mengenai kemiliteran, mereka mulai memasuki masalah pertahan dan keamanan. Hal ini terlihat dengan ikut bergabungnya mereka ke dalam TKR yang merupakan cikal bakal dari ABRI.
Selain itu melihat dari persebaran tentara pelajar yang berpusat pada pulau Jawa, hal ini membuktikan bahwa kaum terpelajar dan cendikiawan-cendikiawan lebih banyak berada di pulau Jawa, dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Namun hal itu bukanlah hambatan bagi orang-orang yang berada di luar pulau Jawa untuk bergabung dalam tentara pelajar. Hal ini dibuktikan dengan adanya anggota tentara pelajar yang berasal dari Aceh, Sulawesi dan Maluku.
Perkembangan tentara pelajar juga sangat berubah, sejak terbentuk di tahun 1943 hingga meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947, perkembangan tentara pelajar kian modern. Dari yang awalnya hanya pembantu perawatan perang, berubah menjadi garda terdepan TKR. Selain itu dari yang awalnya sembunyi-sembunyi menjadi yang paling terang-terangan dalam menjalankan revolusi.
Perubahan senjata juga sangat signifikan, dari yang bergerilya menggunakan bambu runcing, hingga menggunakan senjata api hasil rampasan perang atau dari lucutan para tentara Jepang dan Belanda. Meskipun banyak senjata yang rusak, namun perjuanagn mereka dalam mempertahankan kemerdekaann sangat lah mulia.
Hal ini membuktikan bahwa para pelajar tidak hanya piawai dalam ilmu pengetahuan dan diplomasi saja, mereka juga sangat tangguh dalam bidnag kemiliteran.

Catatan Kaki
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
2. Ibid.
3. Susanto, Sewan, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, h. 14.
4. Asmadi, Pelajar pejuang, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 78.
5. Susanto, Sewan, Op Cit, h. 15.
6. Asmadi, Op Cit, h. 79.
7. Susanto, Sewan, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, h. 13.
8. Susanto, Sewan, Op Cit, h. 15.
9. Asmadi, Pelajar pejuang, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 82.
10. Ibid.
11. Asmadi, Op Cit, h. 87-88.
12. Susanto, Sewan, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, h. 25.
13. Susanto, Sewan, Op Cit, h. 27.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Susanto, Sewan, Op Cit 28.
17. Susanto, Sewan, Op Cit 18-20.
18. Susanto, Sewan, Op Cit 24.
19. Saelan, H. Maulwi, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visimedia, Jakarta, 2008, h. 27.
20. Susanto, Sewan, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, h. 17.
21. Susanto, Sewan, Op Cit, h. 25
22. Ibid.
23. Susanto, Sewan, Op Cit, h. 26

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi

Asmadi. Pelajar Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Saelan, H. Maulwi. Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi ‘45 sampai Kudeta ’66. Jakarta: Visimedia, 2008.

Susanto, Sewan. Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Yayasan Sejarawan Masyarakat Indonesia. Jurnal Sejarah: pemikiran, rekonstrusi, persepsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Reza Alkahfillah (Pend Sejarah 08)


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......