Peranan Frank Graham dalam Revolusi Indonesia

Friday, 28 May 2010


Perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang berlangsung antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 telah menarik perhatian dunia Internasional, khususnya Amerika Serikat. Saat itu, Amerika Serikat memiliki peranan penting dalam penyelesaian masalah antara Indonesia dengan Belanda.
Namun, kita harus melihat dulu bagaimana peranan Amerika Serikat dan apa tujuan dari Amerika Serikat dalam membantu menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dengan Belanda. Apakah peranannya lebih memihak Belanda atau memihak Indonesia dan juga apakah tujuannnya memang benar-benar ingin membantu penyelesaian pertikaian tersebut?

Saat itu, Amerika Serikat sedang terlibat dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet. Amerika yang berideologi Liberalis-Kapitalis tentu akan sangat membantu negara sekutunya, yaitu Belanda, karena hal ini sesuai dengan kecenderungan politik luar negeri Amerika yang ingin merehabilitasi ekonomi Eropa Barat yang hancur akibat Perang Dunia II. Bentuk bantuannya diberikan lewat bantuan keuangan yang dikenal dengan nama “Marshall Plan”. Hal ini lebih menguntungkan Amerika Serikat ketimbang membantu Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh orang-orang sosialis,seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.

Meskipun demikian, Frank Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam membantu mengatasi permasalahan di Indonesia tidak sepenuhnya menjalankan kebijakan politik luar negeri Amerika saat itu. Dia dikenal sangat pro Indonesia dan bahkan para politikus Republik Indonesia menyebut Graham sebagai ”sahabat terpercaya bangsa Indonesia”.[1]
Peranannya dalam membantu penyelesaian permasalahan di Indonesia pada masa revolusi sangatlah besar hingga akhirnya posisinya sebagai wakil Amerika dalam KTN harus digantikan oleh Coert Dubois yang dikenal sangat pro Belanda pada tahun 1948 karena hasil penafsirannya soal perundingan Renville oleh pemerintahan Amerika Serikat dianggap merugikan Belanda dan dianggap terlalu memberi posisi kepada Republik. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh pemerintah Indonesia saat itu.
Lalu timbullah pertanyaan. Mengapa dalam membantu menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda, Frank Graham dianggap memihak Indonesia? Padahal, saat itu kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat cenderung lebih memihak Belanda, tetapi Graham justru malah membela perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan setelah posisinya digantikan dan dipulangkan ke negeri asalnya, Frank Graham tetap memiliki peranan yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia.

Frank Graham dan Revolusi Indonesia
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak penengah. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.[2] Terlepas dari idealisme yang dibawa setiap anggota KTN ketika terpilih untuk bertugas di Indonesia, misi Graham, Kirby, dan van Zeeland beserta staf mereka adalah menghadapi ketidaktegasan dan ketiadaan niat berdamai antara kedua pihak yang sebelumnya sudah diresmikan di Linggarjati.
Frank Graham tiba di Jawa pada Oktober 1947. Sebagai wakil Amerika Serikat untuk Komite Jasa Baik PBB, Frank Graham langsung membuat kecewa para politikus Belanda yang sebenarnya sangat mengaharpkan bantuannya. Ia sangat mengagumi upaya gigih bangsa Indonesia dalam perjuangannya menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Frank Graham dipilih menjadi wakil Amerika dikarenakan latar belakangnya dalam arbitrasi perselisihan ketenagakerjaan. Ia juga sangat dihormati sebagai rektor Universitas North Carolina at Capehill. Ia merupakan seorang aktivis hak sipil di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1940-an yang sangat anti rasis dan berjuang untuk meningkatkan status sosial dan politis orang Afrika-Amerika. Maka dari itu, pandangan politiknya sangat sesuai dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada akhir 1940-an dan sepanjang tahun 1950-an, negara-negara bagian Amerika Serikat yang dulunya menjalani perbudakan tetap ngotot mempertahankan kebijakan segregasi (pemisahan) ras. Akhirnya, pandangan politik Graham yang mencakup dukungan bagi persamaan hak sipil dan hak memilih bagi orang Afrika-Amerika di daerah “Dixecrat” (Partai Hak Negara Bagian, pecahan Partai Demokrat yang mendukung segregasi dan gaya hidup khas selatan, membuatnya dikucilkan dan dicurigai oleh pemilih di North Carolina.
Salah satu bentuk dukungan Graham kepada Indonesia adalah perannya dalam Perundingan Renville yang dilaksanakan sesuai dengan seruan Dewan Keamanan PBB, dimana RI dan Belanda mengadakan perundingan dengan ditemani oleh KTN sebagai penengah. Perundingan dilakukan di atas kapal Renville, suatu kapal pengangkut pasukan milik Amerika Serikat yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan tersebut dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dengan susunan delegasi sebagai berikut:
• Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dengan dua orang wakil ketuanya, yaitu Ali Sastroamidjojo dari PNI dan Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi
• Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdul Kadir Widjojoatmoko, seorang tokoh NICA dengan wakil ketuanya Mr. H.A.L. van Vredenburgh Koets
• KTN terdiri dari AS yang diwakili Dr. Frank Graham, Australia diwakili oleh Richard Kirby dan Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland

Perundingan tersebut mengalami beberapa kemacetan dalam beberapa hal, diantaranya adalah:
• Masalah pembentukan NIS (Negara Indonesia Serikat)
• Masalah Pembenrukan Negara Interim
• Masalah Uni Indonesia-Belanda
• Masalah Plebisit
Dalam lanjutan perundingan, KTN dianggap lebih condong memihak Belanda karena Indonesia harus menerima apa yang dinamakan Garis Van Mook. Dengan dasar gencatan senjata yang berpegang pada garis satus quo inilah pihak Indonesia dipaksa menelan kekecewaan berupa keharusan mengosongkan kantong-kantong basis gerilya di Jawa Barat, dimana pasukan divisi Siliwangi TNI harus tunduk pada perintah untuk melaksanakan hijrah ke wilayah kekuasaan republik di Jawa Tengah.
Hasil perundingan menimbulkan dua reaksi keras yang datang dari dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri, Panglima Besar Jenderal Soedirman menyatakan bahwa status TNI hanya dapat berubah jika telah dibentuk Angkatan Perang NIS yang seluruhnya beranggotakan seluruhnya dari orang-orang Indonesia dan tidak merupakan campuran dari serdadu-serdadu bangsa lain, serta TNI berfungsi sebagai inti. Sedangkan dari luar negeri, wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan PBB, Gromyko mengatakan bahwa KTN terlalu menekan pihak RI demi keuntungan Belanda, suatu pengkhianatan besar dari dewan terhadap suatu bangsa di dunia.[3] Bahkan, Gromyko sempat menguliahi sidang PBB pada akhir tahun 1948. Ia mengatakan bahwa Dewan Keamanan telah memperantarai penyelesaian yang seharusnya mengingatkan semua orang akan kata-kata Mark Twain, “kalau ayam mengeluarkan telur berukuran normal, dia berkotek seolah-olah habis menciptakan satu planet kecil”. Ia juga mengusulkan agar perjanjian Renville dipajang dalam museum sebagai dokumen memalukan yang dibuat karena PBB telah melupakan penderitaan bangsa-bangsa terjajah,dan hanya mengabdi kepada kerakusan kapitalis Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.[4]
Namun, semua reaksi di atas sebenarnya tidak seperti apa yang dimaksudkan oleh Frank Graham yang memainkan peranan sentral dalam perumusannya. Berdasarkan apa yang dianggapnya jaminan kuat dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Graham telah memberikan Amir Sjarifuddin jaminan kuat yang sama, bahwa Amerika Serikat akan menekan Belanda agar mematuhi kewajibannya dalam perjanjian Renville.[5]
Sementara itu menurut Charlton Ogburn, yang telah berusaha keras dalam membuat perundingan Renville akhirnya telah membuahkan hasil, bertahun-tahun kemudian bakal mengenang bahwa perundingan Renville adalah “buah yang masam” karena Belanda menandatanganinya dengan satu pemahaman, dan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia menandatanganinya dengan pemahaman lain lagi.
Akan tetapi, Graham dan Amir tidak bisa mengantisipasi bahwa para pejabat senior AS yang berpengaruh dalam pemerintahan Amerika Serikat akan mengambil kesimpulan bahwa konsesi-konsesi yang telah ditarik Graham dari pihak Belanda dianggap terlalu jauh dan tidak dapat dipertahankan.[6] Akhirnya setelah Perundingan Renville, Graham diberhentikan dan digantikan oleh Coert Dubois, seorang pegawai luar negeri karir yang terkenal bersikap pro Belanda.
Digantikannya Frank Graham dari posisinya sangat mengecewakan wakil Indonesia dalam perundingan Renville, yaitu Amir Sjarifuddin. Wakil Amerika Serikat, Profesor Frank Graham, yang dianggapnya sebagai teman baik dan seiman, pernah sama-sama menjadi tokoh Gerakan Mahasiswa Kristen semasa muda mereka, ditarik kembali oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Graham lah yang meyakinkan Bung Amir agar menyetujui tuntutan Belanda supaya Tentara Nasional Indonesia mengosongkan daerah pendudukan.
Selanjutnya, dua partai (PNI dan Masyumi) yang menjadi koalisinya pun harus mengundurkan diri karena merasa tidak mampu menjalankan hasil perundingan Renville. Amir dan kabinetnya pun juga harus dijatuhkan karena dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya. Kalangan sayap kiri pendukung Amir Sjarifuddin melihat bahwa Amir tak punya pilihan lain selain menandatangani perundingan Renville, terutama karena utusan-utusan Washington mengancam akan mundur dari keterlibatannya dalam penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda jika Republik Indonesia menolak mengikuti prnsip-prinsip legalistik perundingan Renville.[7]
Graham meyakinkan Amir di KTN Dewan Keamanan PBB bahwa dengan menandatangani kesepakatan gencatan senjata, meski dengan berat hati mereka berarti memilih menentukan nasib lewat kertas suara, bukan lewat senjata. Pilihan tersebut menurut Graham, jelas bakal menarik bagi kecenderungan politik pemerintahan Presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman.
Pada bulan-bulan awal 1948, para pejabat Belanda bersuka ria karena mengetahui sikap pro Belanda Amerika, yang pada gilirannya menimbulkan rasa percaya diri dan komunikasi dari Kedutaan Besar Belanda di Washington ke Den Haag dan Jakarta. Pandangan positif makin kuat dengan digantikannya Frank Graham sebagai wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara. Teman-teman Indonesia Frank Graham melepas kepergian pembela mereka dengan sedih walau mereka senang mendengar bahwa sepulangnya dari Indonesia ke Amerika, Frank Graham diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Indonesia bagi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Frank Graham telah membuktikan objektivitasnya dalam membantu menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dengan Belanda meskipun tindakannya dianggap oleh Belanda dan pemerintah Amerika Serikat dianggap terlalu pro Republik. Dari latar belakang Frank Graham yang pernah menjadi seorang aktivis hak sipil orang Afrika-Amerika di negara asalnya, ia pun lebih terkesan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam menuntut kedaulatannya dari tangan Belanda.
Pengaruh Perang Dingin dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang lebih memfokuskan untuk membantu negara sekutunya, yaitu Belanda tidak begitu mempengaruhi Frank Graham. Dalam melaksanakan tugasnya di Indonesia, ia bisa menempatkan posisinya sebagai bangsa Indonesia sehingga tindakannya harus bertentangan dengan pejabat-pejabat senior Amerika Serikat dan menyebabkan dirinya harus digantikan oleh Coert Dubois.
Frank Graham juga memiliki peranan penting dalam perumusan perundingan Renville. Di dalam penandatanganan perundingan tersebut, ia juga orang yang berhasil meyakinkan delegasi Indonesia, yaitu Amir Sjarifuddin agar mau menadatangani perundingan tersebut.
Namun, hasil dari perundingan tersebut menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak, baik Amerika, Belanda, Indonesia dan juga PBB. Kesalahan dalam perundingan Renville disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran antara Belanda dan Indonesia. Akhirnya, Frank Graham dan Amir Sjarifuddin pun harus rela kehilangan jabatannya karena keduanya tidak dapat mengantisipasi desakan yang datang dari pihak yang menentang hasil perundingan tersebut.
Amir yang merasa kecewa dengan digantikannya Frank Graham dan kehilangan posisinya sebagai perdana menteri, akhirnya melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948 bersama Muso, seorang tokoh komunis yang baru saja kembali dari Uni Soviet. Sedangkan Graham diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Indonesia bagi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat setelah kembali ke negaranya.

Catatan Kaki
1. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, Indonesia Merdeka karena Amerika? (Jakarta: Serambi, 2008), p. 56.
2. Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI (Balai Pustaka: Jakarta, 1984), p. 136.
3. Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa (Jakarta: CV Rajawali Corporation, 2002) pp. 72-75.
4. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, op.cit., p. 286
5. George McTurman Kahin. Denyut Nadi Revolusi Indonesia: Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), p. 17.
6. George McTurman Kahin, ibid., p. 19.
7. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, op.cit., p.294.

Daftar Pustaka
Elson, R.E. The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi. 2009.
Gouda, Frances dan Zaalberg, Thijs Brocades. Indonesia Merdeka karena Amerika?. Jakarta: Serambi. 2008.
Kahin, George McTurman. Denyut Nadi Revolusi Indonesia: Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1997.
Nordholt, Henk Schult. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1984.
Setyohadi, Tuk. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Rajawali Corporation.2002.

Achmad Seftian Pend. Sejarah 2008


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Kabinet Hatta

Wednesday, 26 May 2010


Indonesia pada masa 1945-1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Memasuki tahun 1948, kondisi Indonesia terpuruk baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Jatuh bangunnya Kabinet Sjahrir dan Amir lebih banyak diakibatkan oleh oposisi diluar parlemen membuat Presiden Soekarno mencari figure pemimpin yang kuat untuk menyelamatkan bangsa.

Hatta dipandang memiliki kedudukan yang kuat baik ke luar dalam bidang diplomasi maupun ke dalam untuk menyatukan berbagai pertikaian partai politik. Kebijakan Hatta terbukti mampu menyatukan partai-partai politik sehingga Kabinet Hatta merupakan kabinet yang tidak dapat dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan diluar parlemen meskipun kabinet ini mendapat oposisi yang hebat dari Sayap Kiri.

Hatta memberi pengaruh yang cukup besar dalam setiap pengambilan kebijakan politiknya. Hatta dalam menentukan kebijakan politiknya juga memperhatikan kondisi intern dan ekstern Indonesia, sehingga kebijakan politik Hatta merupakan usaha untuk memperkuat Indonesia baik ke dalam maupun ke luar. Kebijakan ini terlihat dari tiga masalah penting yaitu diplomasi, rasionalisasi dan pembangunan. Pada masa pemerintahannya, Hatta berusaha untuk berdiri di atas semua golongan tetapi Kabinet Hatta mendapat oposisi yang hebat dari Sayap Kiri yang tidak menyetujui kabinet presidensil dan kebijakan-kebijakan Kabinet Hatta. Namun, Kabinet Hatta menunjukkan diri sebagai kabinet yang cukup kuat, terbukti Kabinet Hatta tidak dapat dijatuhkan oleh kekuatan oposisi yang digalang Sayap Kiri dengan Pemberontakan Madiun 1948 sebagai puncaknya. Kuatnya Kabinet Hatta tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan Hatta merangkul Masyumi dan PNI sebagai partai besar saat itu, Hatta juga berhasil merangkul partai Kristen, Katolik dan militer kelompok Nasution sebagai penyokong kekuatan kabinetnya. Kebijakan Kabinet Hatta tidak semuanya dapat terlaksana dengan baik, karena kondisi politik yang tidak stabil di dalam negeri akibat Pemberontakan
Madiun 1948 dan Agresi Militer Belanda II (AMB II). Tetapi, Hatta berhasil menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda dan menghasilkan Piagam Penyerahan dan Pengakuan Kedaulatan bagi Indonesia melalui persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dapat dikatakan sebagai karya monumental Hatta dalam bidang diplomasi. Pada kebijakan rasionalisasi Hatta telah meletakkan dasar-dasar untuk mengefektifkan susunan dan administrasi negara dan Angkatan Perang, meskipun usaha ini sedikit terhalang dengan terjadinya Pemberontakan Madiun 1948. Kebijakan pembangunan Hatta telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi program transmigrasi, penyempurnaan pengairan dan pembukaan lahan-lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan. Tetapi, kondisi ekonomi belum sepenuhnya stabil karena harga kebutuhan pokok dan inflasi masih tinggi. Pada bidang pendidikan Hatta berhasil mengupayakan pemberantasan buta huruf dan pembangunan sekolah-sekolah keterampilan untuk para pemuda yang pulang dari front. Setelah Hatta tidak lagi menjadi Perdana Menteri, kiprah Hatta dalam panggung politik lebih banyak dilakukan dibalik layar. Hatta lebih banyak memberi masukan pada para pemimpin-pemimpin partai politik dalam mengambil kebijakan, hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari kursi Wakil Presiden. Pada penelitian selanjutnya dapat mengulas bagaimana kebijakan politik Hatta dari sudut pandang lain, seperti ekonomi untuk semakin dapat melengkapi data-data perkembangan pembangunan pada tahun 1948-1950. Penelitian lain yang juga dapat diangkat adalah kebijakan politik Hatta pada masa demokrasi parlementer (1950-1957) sampai pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden.

Isi
Penandatangan persetujuan Renville menimbulkan suatu gejolak pada Kabinet Amir Syarifudin, Masyumi yang merupakan partai politik terbesar, telah mengundurkan diri dari Kabinet pada tanggal 16 Januari.[1] Meskipun menetang persetujuan Renville, Masjumi mau mematuhinya karena sudah ditandatangani oleh Pemerintah.[2] Setelah persetujuan Renville ditandatangani Masjumi dan PNI memberikan sebuah pernyataan bahwa mereka tidak dapat mendukung Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri dan bahwa dukungan mereka kepada setiap Pemerintah pada masa yang akan datang akan tergantung pada apakah mereka mempunyai posisi dominant di dalamnya.[3] PNI dan Masjumi menunjukkan sikap bahwa mereka tidak dapat mendukung sebuah perjanjian tanpa disetujui oleh mereka.[4] Dengan pngunduran diri kedua partai tersebut dukungan terhada Amir Syarifudin semakin berkurang, Amir Syarifudin hanya mendapatkan dukungan dari sayap kiri, karena hal tersebut Amir Syarifudin mengundurkan diri dari Perdana Menteri.[5] Setelah pengunduran diri Amir Syarifudin, Presiden Soekarno menunjuk Drs. Mohammad Hatta, sebagai wakil Presiden yang berdiri diluar partai untuk membentuk suatu Kabinet Presidensil. Tujuan awal yang dilakukan Hatta dalam membentuk Kabinet Presidensil adalah membentuk suatu Pemerintah Nasional yang mengikutsertakan semua partai besar. Namun tujuan dari Hatta tidak dapat terlaksana karena Hatta tidak mampu mendamaikan sayap kiri. Sayap kiri menuntut minimum empat jabatan Kabinet, dengan amir Syarifudin sebagai menteri pertahanan. Keinginan sayap kiri mendapat reaksi keras dari Masjumi yang menentang Amir Syarifudin sebagai menteri pertahanan, karena dengan pertimbangan kejadian-kejadian pada waktu Amir menjadi Perdana Menteri, Amir telah memakai dana dari jabatannya untuk membina kelompok pengikut pribadi.

Susunan Kabinet Hatta



Program-program kerja yang akan dilakukan oleh Hatta meliputi empat butir program kerja, yaitu:
1. Pelaksanaan Persetujuan Renville tentang gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik serta melanjutkan perundingan dengan Belanda melalui komisi jasa-jasa.
2. Mempercepat pembentukan suatu Republik Indonesia Serikat yang demokratis dan berdaulat.
3. Rasionalisasi dan Rekonstruksi ekonomi dan angkatan perang Republik.
4. Perbaikan kerusakan yang ditimbulkan oleh perang dan pendudukan Jepang.

Program-program kerja tersebut mulai dilaksanakan oleh Hatta dengan melakukan penarikan pasukan TNI ke luar garis Van Mook.sebelum tanggal 26 Februari 1948, semua Tentara Republik telah meninggalkan kantong-kantong gerilya dan menyeberangi garis van Mook menuju daerah yang diuasai oleh Republik. Namun tidak semua tentara meninggalkan daerah-daerah gerilya mereka, sekitar 400 tentara masih bertahan di daerah mereka, kebanyakan dari mereka termasuk pasukan Hizbullah yang masuk ke dalam TNI.
Pada rapat umum di Surakarta tanggal 26 februari, sayap kiri yang menetang Kabinet Hatta melakukan reorganisasi dan muncul sebagai Front Demokrasi Rakyat (FDR). Program yang diumumkan oleh Amir Syarifudin lebih menekankan kepentingan buruh dan kepentingan petani, tetapi dilain pihak hampir identik dengan program sayap kiri yang diumumkan pada teanggal 21 februari.[6] Dalm jangka waktu dua minggu partai pendukung FDR (Partai Sosialis, Partai Buruh dan Pesindo) serta perkumpulan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang juga berkaitan erat dengan FDR menginginkaan dibatalkannya Perjanjian Renville, tidak mengadakn perundingan dengan Belanda sebelum mereka mengundurkan diri dari Indonesia, nasionalisasi harta kekayaan Belanda dan harta kekayaan orang asing lainnya tanpa ada ganti rugi.
Permusuhan antar FDR dengan Pemerintah semakin bertambah, permusuhan itu diawali dengan ditolaknya Amir menjadi menteri pertahanan dalam Kabinet Hatta. Tujuan FDR untuk jangka panjang adalah mendominasi kekuasaan pemerintah dengan mendapatkan posisi-posisi penting seperti menteri pertahanan dan menteri dalam negeri. Untuk mewujudkan tujuan tersebut FDR saip menjalancan cara Revolusioner. Kekuatan utama FDR terletak pada angkatan perang dan pada kalangan tingkatan-tingkatan buruh. Pada masaa pemerintahannnya, Amir Syarifudin telah berhasil membina suatu kedudukan pribadi yang kuat dalam angkatan perang. Kekuasaannya untuk menunjuk dan mengeluarkan dana telah membuat sejumlah besar perwira angkatan perang TNI yang tetap setia padanya. Yang lebih penting lagi adalah kedudukan kuat yang telah dibina Amir dalam organisasi pembantu utama angkatan perang, yaitu TNI masyarakat.[7] Organisasi TNI masyrakat bertujuan untuk mengorganisir pertahanan rakyat setempat untuk membantu angkatan perang yang tetap. Selain itu FDR juga memegang kedudukan penting dalam SOBSI.
Untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, militer dan politik yang muncul akibat situasi pada saat itu, Hatta dan kabinetnya segera memulai suatu program “Rasionalisasi”. Sehubungan dengan hal itu dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Parlemen pada tanggal 16 Februari 1948, Hatta mengatakan:
”Bahwasannya tidak usah berani jika penghasilan Negara tidak dapat menutup pengeluaran. Akan tetapi, perbedaan itu dapat diperkecil dengan rasionalisasi yang bijaksana dengan memindahkan buruh dari perkerjaan yang tidak prodktif ke bidang aktivitas yang produktif. Pemindahan buruh ini tidak akan segera menunjukkan penurunan dalm pengeluaran Negara, bahkan pada permulaan kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya karena untuk menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dibutuhkan npersiapan sebelumnya dan penanaman modal untuk menjalankannya. Akan tetapi setelah persiaapan selesai buruh produktif akan mulai mengahasilkan keuntungan dan pendapatan Negara akan meningkat. Terutama berhubungan dengan ankatan bersenjata kita, proyek rasionalisasi itu harus dilaksanakan sepanjang garis yang jelas dan sudah ditentukan, karena dalam pasukan-pasukan bersenjata itu ada tenaga kerja tidak terampil yang tidak produktif paada masa mendatang. Bila kita tidak mengadakan rasionalisasi, tahu-tahu Negara ini berada dalam cengkeraman inflansi yang proporsi-proporsinya sangat membahayakan bahkan melumpuhkan karena setiap pekerja yang harus deikeluarkan karena kelebihan pegawai, harus diberi pekerjaan lain yang menjamin kehidupan yang layak baginya”.
Reorganisasi angkatan perang mengharapkan suatu demobilisasi permulaan membuat keanggotaannya dari 160.000 menjadi 57.000 orang. Direncanakn agar angkatan perang tetap terlatih baik dan cukup dipersenjatai ini, akan disiapkan untuk menjalankan kekuatan batalyon dalam suatu perang gerilya yang mobil dan keras serangan melawan Belanda apabila menyerang lagi. “Pertahanan mobil” dari pergantian kantong-kantong gerilya yang tidak dapat dibersihkan.[8] Kebijaksanaan awal yang dilakukan oleh kabinet Hatta ialah mensterilkan TNI dari pengaruh komunis. Kebijakan ini terkenal dengan nama reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang, disingkat ReRa. Kebijakan ini tentu sangat merugikan kepentingan PKI, sehingga di bawah kepemimpinan Mr Amir Syarifuddin tergalang berbagai kekuatan komunis untuk menentang ReRa. Kekuatan massa yang digalang antara lain Partai Sosialis sayap kiri, Partai Buruh, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI), semua digabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Agitasi yang dilakukan oleh komunis ternyata berpengaruh pula di kalangan militer. Kol Sutarto, Komandan Divisi IV Panembahan Senopati Surakarta ikut bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat. Tapi akhirnya Kol Sutarto dibunuh oleh PKI karena tidak setuju rencana PKI untuk berontak. Demikian juga dr Muwardi, tokoh masyarakat Solo, dibunuh karena mengetahui rencana PKI untuk berontak. Terjadilah kekacauan di Kota Solo. Di tengah-tengah kekacauan tersebut, Muso, gembong PKI kembali ke Tanah Air, yang sejak 1936 melarikan diri ke Moskow dan mengambil alih kepemimpinan PKI dari Amir Syarifuddin.
Pada 17 September 1948, pasukan militer yang dihasut oleh PKI melakukan serangan terbuka di kota Solo. Esok harinya, 18 September 1948 pukul 03.00 dini hari, kota Madiun digemparkan oleh tembakan gencar yang menghantam markas-markas militer, kantor pemerintah, dan rumah-rumah penduduk yang tidak sepaham dengan ideologi komunis. Malam itu juga dilakukan penculikan dan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, kiai, ulama pondok pesantren, dan tokoh agama. Ratusan bahkan mungkin ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban kebiadaban komunis. Untuk kali kesekian republik yang baru berusia tiga tahun berduka akibat kebiadaban manusia tidak bertuhan. Tujuan pemberontakan Madiun ialah membentuk pemerintah tandingan seperti di Cina. Mereka mengistilahkan Formal Fase Nonparlemen. Tokoh-tokoh mereka melalui Radio Madiun memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Soviet Indonesia serta menegaskan untuk menguasai seluruh Indonesia. Muso dan kawan-kawan hanya dapat bertahan sebelas hari, tepatnya 30 September 1948, pemberontakan ini dapat ditumpas. Muso tertembak mati, sedangkan tokoh-tokoh lain seperti Amir Syarifuddin, Maruto, Darusman, dan Suripto ditangkap dan dieksekusi. Adapun tokoh lain berhasil melarikan diri, antara lain Alimin, Abdul Majid, dan DN Aidit. Dalam pemberontakan Madiun yang gagal ini, ribuan kader PKI ditangkap dan sebagian dieksekusi massa, sehingga regenerasi komunis mendapat pukulan berat.
Dari kejadian pemberontaka Madiun terlihan program rasionalisasi ternyata mendapat penolakan yang cukup kuat terutama dari FDR dan para anggota angkatan bersenjata yang khawatir tidak akan mendapatkan pekerjaan yang mereka sukai. Mengetahui adanya penolakan dari angkatan bersenjata mengenai program Rasionalisasi dari kabinet Hatta, FDR yang oposisi terhadap cabinet Hatta memanfaatkan hal tersebut untuk mendapatkan dukungan yang lebih kuat. Cara tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena FDR hanya dapat mempengaruhi dua dari dua puluh titik sentral dalam angkatan perang. Puncak dari oposisi FDR adalah pemberontakan PKI Madiun pada bulan September 1948 yang digalang oleh Musso dan Amir serta kawan-kawan, namun pemberontakan itu berhasil dipatahkan dan Kabinet Hatta tetap berdiri tanpa adanya reshuffle Kabinet yang diinginkan oleh FDR dengan “Program Nasional”. Kabinet Hatta tetap kuat dan akhirnya berhasil menyelasaikan konflik dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar.

Kesimpulan
Dalam dunia politik usaha untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh sudah sangat umum terjadi. Para pemegang kekuasaan berusaha mempertahankan kekuasaanya dari pihak oposisi. Hal tersebut juga terlihat pada masa 1945-1947, hal itu terlihat dari usaha Amir Syarifudin yang berusaha keras menjatuhkan Kabinet Hatta dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat.
Pada masa 1945-1947 Indonesia sedang berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai. Usaha-usaha untuk mempertahankan kemerdekaan mengalami masalah yang cukup sulit dan kompleks. Pergantian Kabinet terjadi di Indonesia, diawali dengan naiknya Syahrir sebagai perdana Menteri yang akhirnya turn setelah perjanjian Linggarjati, kemudian digantikan oleh Amir Syarifudin yang dipaksa turun akibat menandatangani Perjanjian Renville. Setelah Amir Syarifudin Mengundurkan diri, Drs. Mohammad Hatta yang juga wakil Presiden ditunjuk oleh Soekarno untuk mebentuk sebuah Kabinet Nasional yang dapat merangkul semua partai politik. Namun Hatta juga tidak berhasil mewujudkan Kabinet Nasional karena pihak kiri tidak mau mendukung Kabinet Hatta. Pihak kiri pada akhirnya menjadi pihak oposisi yang selalu menginginkan Kabinet Hatta mundur. Namun usaha dari sayap kiri untuk menjgal Kabinet Hatta tidak berhasil karena Kabinet Hatta merupakan kabinet yang kuat dan juga didukung oleh partai-partai besar (PNI dan Masyumi). Kebijakan-kebijakan Kabinet Hatta tidak dapat terlaksan secara keseluruhan karena terbentur oleh keadaan kondisi Negara. Namun Kabinet Hatta mempunyai sebuah andil yang besar dalam menyelesaikan konflik dengan Belanda dengan dihasilkannya Konferensi Meja Bundar.

Catatan Kaki
1. Antara 16 Januari 1948. pada tanggal 13 November 1947. Masyumi setuju mendukung dan ikut dalam kabinet Amir Syarifuddin. Oleh karena itu, Syamsudin dari Masyumi menggantikan A.K. Gani (PNI) debagai wakil perdana menteri, Gani menjadi wakil Perdana Menteri ketiga dan Setiadjit (Partai Buruh) menjadi wakil perdan menteri keempat.
2. Merdeka (Surat Kabar Republik yang berpengaruh, terbit di Jakarta), 19 Januari 1946
3. Dari sumber (Surat Kabar Republik yang dicetak di Batavia) 30 Januari 1948
4. Perihal PNI dan Masjumi menetang persetujuan Renville secara dramatis ditunjukkan hanya tiga hari setelah penandatanganan.
5. Antara, 24 Januari 1948. Dukungan terhadap Amir hanya tinggal dari suatu minoritas kecil di dalam badan pekerja KNIP yang sebagian besar terdiri dari wakil-wakil dari sayap kiri (koalisi Partai Sosialis, Buruh, PKI, dan Pesindo, dikurangi yang termasuk kelompok Syahrir dari Partai Sosialis.
6. Antara, 26 Februari 1948
7. Secara harafiah : Masyarakat TNI
8. Kol. A.H.. Nasution, “Rasionalisasi dan Pembangunan”, Merah Putih. 15:23

Daftar Pustaka
Kol. A.H.. Nasution, “Rasionalisasi dan Pembangunan”, Merah Putih.
Salean, Maulwi. Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66. Jakarta: Visimedia. 2001
Suara Merdeka Perekat komunitas Jawa Tengah

Abdul Hakim (Badoel) Pend Sejarah 2008


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Fakta seputar warna behaviorisme dibalik realita Pembelajaran & Praksis Pendidikan


Lihatlah proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Dari sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada murid sampai pada taraf pembekalan pengetahuan dan keterampilan sebatas sekedar tahu saja. Belum sampai kepada meletakan nilai-nilai wawasan sosial dan kemanusiaan, serta penguasaan bekal hidup yang praktis. Dalam sistem pengajaran kita lihat hubungan guru dan murid ibarat hubungan cerek dan cangkir. Yang satu cuma sebatas memberi dan yang lain sekedar menerima saja.
Dan inilah kenyataan yang membuat integrasi pendidikan di Indonesia berjalan macet. Guru sibuk berbicara di depan kelas sedangkan murid asyik melucu atau ngobrol di belakang.

Tampak taraf pengajaran kita untuk menyerap ilmu masih sekedar menyodorkan tugas-tugas hafalan untuk diuji. Sistem komunikasi dalam kelas cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap yes-man kepada guru. Mengkeritik guru atau beradu argumen seolah dipandang tabu. Mungkin selalu dibelenggu ketakutan karena berdampak pada ancaman pada nilai rapor. Demikianlah ungkap salah seorang murid dalam suatu dialog ringan. Belajar dengan cara menghafal sungguh mematikan kreatif berfikir dan menunjukkan bahwa guru-guru masih menerapkan pengajaran sistem kuno.
Guru menganggap bahwa dirinyalah paling benar. Yang mengharuskan setiap murid menerima apa yang dikatakan. Pernah kejadian pada sebuah sekolah. Seorang murid kritis tergolong pintar mencoba memberi usul atau kritik kepada seorang guru bidang studi. Alhasil sang guru malah menjadi marah dan memberikan nilai buruk pada sang murid tersebut. Entah karena tak tahan kritik atau apalah saya juga tahu.
Beginilah suasana kelas atau sekolah dengan dengan jumlah murid yang masih ramai, dan tampak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Seolah-olah ruang kelaslah yang menjadi wilayah belajar murid, meskipun teori diatas kertas sungguh bagus. Dalam proses belajar mengajar siswa tampak bersikap pasif. Mereka hanya menerima ilmu saja dan dalam memahami pelajaran cenderung untuk selalu menghafal buku catatan. Interaksi guru-murid lebih diwarnai oleh rasa takut, ini menandakan fikiran masih terbelenggu. Dalam penguasaan bidang ilmu seolah-olah guru serba tahu secara mutlak. Ceramah merupakan metode yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dan inilah penyebab suasana kelas dan suasana belajar menjadi serba membosankan. Hampir setiap hari banyak murid yang memboloskan diri. Maka tentu tidak berlaku kalimat yang berbunyi “kelasku adalah istanaku” tetapi yang terjadi hanyalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.
Behavioristik maksudnya melihat individu/manusia sangat terbatas pada perilaku yang berdasarkan responnya terhadap stimulasi dari lingkunganya.

Bagaimana para behavioris memandang manusia :
Manusia dianggap sebagai organisme yang pasif-reaktif terhadap lingkunganya yang memberi respon terhadap lingkungan. Segala perilaku kehidupanya banyak dipengaruhi lingkungan tempat tinggalnya, orang berbuat itu, sebenarnya ia sedang mereaksi suatu stimulus yang datang dari luar. Jadi perubahan perilaku yang terjadi pada manusia sebenarnya adalah hubungan (S-R bond) stimulus dan respon. Maksudnya adalah pengetahuan akan semakin kuat apabila diberikan penguatan (reinforcement). Penguatan itu sendiri bisa positif atau juga negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif itu dapat mengakibatkan perilaku berkurang.

Saya tidak setuju kalau manusia dianggap sebagai organisme yang pasif-reaktif, karena kita bukanlah organisme yang pasif. Dalam teori eksistensialisme, kita sebagai manusia adalah penentu, subjek kehidupan. Kita yang memutuskan apa yang harus kita lakukan, bukan dunia yang menentukan apa yang harus kita lakukan.

Pendidikan merupakan sektor yang paling utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah kita. Bagaimana sebuah bangsa ini bisa maju ialah jika pendidikan anak-anak bangsanya sudah maju. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah alinea yang terdapat di dalam uud negara 1945 dan itu sudah menjadi tugas negara untuk mengembangkan dan memajukan sektor pendidikan kita. Karena itu jelas pentinglah pendidikan di dalam kehidupan kita. Seakan menegaskan bahwa pendidikan itu memang modal yang paling utama untuk membangun negeri ini.

berbicara tentang pendidikan, pastinya berhubungan erat dengan lembaga pendidikan atau yang biasa kita sebut sekolah. namun seperti yang kita ketahui bersama. Kita tidakk hanya sekedar belajar di sekolah saja, diluar sekolah pun bisa terjadi. Karena memang belajar itu tidak ada batasan ruang dan bisa dilakukan dimana saja. Belajar bukanlah sekedar proses penanaman atau transfer ilmu pengetahuan. Tetapi juga ketika kita mulai menyadari pemaknaan arti kehidupan kita di dunia. Atau dengan kata lain ketika kita sudah bisa menjawab tantangan-tantangan kehidupan yang datang dalam kehidupan kita.

Pendidikan adalah moment dimana kita memiliki kesadaran kritis berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. Sekolah seharusnya bukanlah institusi yang memenjarakan kreatifitas siswanya. Sekolah seharusnya bisa mengembangkan potensi, minat dan bakat siswa/i nya, bukan malah mematikan karakter2 siswinya.

Meminjam pemikirn freire dewasa ini sekolah kita bisa diumpamakan seperti pendidikan gaya bank. Dalam pendidikan, ibarat gelas, guru menuangkan ilmu pengetahuan dan murid seperti wadah/ gelas (deposit belaka) yang diisi oleh guru. Kalau begitu murid diumpamakan sebagai objek yang pasif sedangkan guru adalah subjek yang aktif. Gurulah yang menjadi point of center dalam pembelajaran. (Pendidikan kaum tertindas Hal: 52). Akibatnya terjadilah dehumanisasi. Disamping itu atmosfer yang tercipta dalam sebuah institusi pendidikan tidak lain sebagai ruang eksekusi yang memenjarakan dan membatasi segala ruang kreatifitas yang diciptakan oleh sebagai dan orang atau beberapa orang yang secara mutlak merupakan pemikir konservatif behaviorist tanpa membuka pemikiran pembaruan (revolusi) yang lebih segar dan terintegrasi dalam mengolah sistem pembelajaran.
• Konsep ini sesuai dengan apa yang disebut Sartre sebagai konsep pendidikan yang mengunyahkan (digestive) atau “memberi makanan” (nutritive), dimana pengetahuan “disuapkan” guru kepada murid untuk “mengenyangkan mereka.
(lihat; Jean Paul Sartre, “une idee fondamentale de la phenomenologie de Husserl : l’intentionalite”, situattions I (Paris : Libraire Gallimard, 1947). Sebagai contoh sejumlah guru menentukan daftar bacaannya bahwa sebuah buku tertentu harus dibaca pada halaman 10-15, dan hal itu dilakukan untuk “membantu” para murid.

Freire ingin merontokkan pendidikan “sistem gaya bank” tersebut dengan menciptakan sistam baru yang dinamakan “Problem posing education” atau “pendidikan hadap masalah. Secara teknis guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama “Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru”.
Dalam “pendidikan hadap masalah” itu guru dan murid sama-sama belajar. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis pada murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirnya sendiri dan dunia tempat mereka berada. (Pendidikan kaum tertindas hal 63)

Meminjam pernyataan Soe Hok Gie, “guru itu bukan dewa dan murid bukan kerbau, guru yang tak tahan kritik, silahkan masuk ke tong sampah !”
Maka dari itu sebuah wacana yang menyatakan bahwa guru merupakan central dari ilmu pengetahuan “harus segera dihapuskan” karena hanya akan menimbulkan sebuah egoisme terhadap hirarki, tanpa harus memandang sebuah revolusi demi kedinamisan dalam sebuah pendidikan.

Guru harus dapat menemukan inovasi yang baru dalam dunia pendidikan. Harus selalu kreatif dan inovatif. Meminjam pernyataan Pak Lody, kalau guru itu seperti chef dalam memasak. Harus mampu menciptakan dan menyajikan kemasan yang lebih menarik dan fleksibel, bukan dalam kemasan yang kaku dan membosankan. Guru juga adalah seorang seniman, layaknya panggung pementasan teatrikal. Guru harus bisa membuat skenario (lesson plan) agar kemudian bisa dipraktekan di panggung pertunjukan kelas.

NN


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......