Peranan Frank Graham dalam Revolusi Indonesia

Share

Friday, 28 May 2010


Perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang berlangsung antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 telah menarik perhatian dunia Internasional, khususnya Amerika Serikat. Saat itu, Amerika Serikat memiliki peranan penting dalam penyelesaian masalah antara Indonesia dengan Belanda.
Namun, kita harus melihat dulu bagaimana peranan Amerika Serikat dan apa tujuan dari Amerika Serikat dalam membantu menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dengan Belanda. Apakah peranannya lebih memihak Belanda atau memihak Indonesia dan juga apakah tujuannnya memang benar-benar ingin membantu penyelesaian pertikaian tersebut?

Saat itu, Amerika Serikat sedang terlibat dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet. Amerika yang berideologi Liberalis-Kapitalis tentu akan sangat membantu negara sekutunya, yaitu Belanda, karena hal ini sesuai dengan kecenderungan politik luar negeri Amerika yang ingin merehabilitasi ekonomi Eropa Barat yang hancur akibat Perang Dunia II. Bentuk bantuannya diberikan lewat bantuan keuangan yang dikenal dengan nama “Marshall Plan”. Hal ini lebih menguntungkan Amerika Serikat ketimbang membantu Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh orang-orang sosialis,seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.

Meskipun demikian, Frank Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam membantu mengatasi permasalahan di Indonesia tidak sepenuhnya menjalankan kebijakan politik luar negeri Amerika saat itu. Dia dikenal sangat pro Indonesia dan bahkan para politikus Republik Indonesia menyebut Graham sebagai ”sahabat terpercaya bangsa Indonesia”.[1]
Peranannya dalam membantu penyelesaian permasalahan di Indonesia pada masa revolusi sangatlah besar hingga akhirnya posisinya sebagai wakil Amerika dalam KTN harus digantikan oleh Coert Dubois yang dikenal sangat pro Belanda pada tahun 1948 karena hasil penafsirannya soal perundingan Renville oleh pemerintahan Amerika Serikat dianggap merugikan Belanda dan dianggap terlalu memberi posisi kepada Republik. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh pemerintah Indonesia saat itu.
Lalu timbullah pertanyaan. Mengapa dalam membantu menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda, Frank Graham dianggap memihak Indonesia? Padahal, saat itu kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat cenderung lebih memihak Belanda, tetapi Graham justru malah membela perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan setelah posisinya digantikan dan dipulangkan ke negeri asalnya, Frank Graham tetap memiliki peranan yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia.

Frank Graham dan Revolusi Indonesia
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak penengah. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.[2] Terlepas dari idealisme yang dibawa setiap anggota KTN ketika terpilih untuk bertugas di Indonesia, misi Graham, Kirby, dan van Zeeland beserta staf mereka adalah menghadapi ketidaktegasan dan ketiadaan niat berdamai antara kedua pihak yang sebelumnya sudah diresmikan di Linggarjati.
Frank Graham tiba di Jawa pada Oktober 1947. Sebagai wakil Amerika Serikat untuk Komite Jasa Baik PBB, Frank Graham langsung membuat kecewa para politikus Belanda yang sebenarnya sangat mengaharpkan bantuannya. Ia sangat mengagumi upaya gigih bangsa Indonesia dalam perjuangannya menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Frank Graham dipilih menjadi wakil Amerika dikarenakan latar belakangnya dalam arbitrasi perselisihan ketenagakerjaan. Ia juga sangat dihormati sebagai rektor Universitas North Carolina at Capehill. Ia merupakan seorang aktivis hak sipil di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1940-an yang sangat anti rasis dan berjuang untuk meningkatkan status sosial dan politis orang Afrika-Amerika. Maka dari itu, pandangan politiknya sangat sesuai dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada akhir 1940-an dan sepanjang tahun 1950-an, negara-negara bagian Amerika Serikat yang dulunya menjalani perbudakan tetap ngotot mempertahankan kebijakan segregasi (pemisahan) ras. Akhirnya, pandangan politik Graham yang mencakup dukungan bagi persamaan hak sipil dan hak memilih bagi orang Afrika-Amerika di daerah “Dixecrat” (Partai Hak Negara Bagian, pecahan Partai Demokrat yang mendukung segregasi dan gaya hidup khas selatan, membuatnya dikucilkan dan dicurigai oleh pemilih di North Carolina.
Salah satu bentuk dukungan Graham kepada Indonesia adalah perannya dalam Perundingan Renville yang dilaksanakan sesuai dengan seruan Dewan Keamanan PBB, dimana RI dan Belanda mengadakan perundingan dengan ditemani oleh KTN sebagai penengah. Perundingan dilakukan di atas kapal Renville, suatu kapal pengangkut pasukan milik Amerika Serikat yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan tersebut dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dengan susunan delegasi sebagai berikut:
• Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dengan dua orang wakil ketuanya, yaitu Ali Sastroamidjojo dari PNI dan Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi
• Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdul Kadir Widjojoatmoko, seorang tokoh NICA dengan wakil ketuanya Mr. H.A.L. van Vredenburgh Koets
• KTN terdiri dari AS yang diwakili Dr. Frank Graham, Australia diwakili oleh Richard Kirby dan Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland

Perundingan tersebut mengalami beberapa kemacetan dalam beberapa hal, diantaranya adalah:
• Masalah pembentukan NIS (Negara Indonesia Serikat)
• Masalah Pembenrukan Negara Interim
• Masalah Uni Indonesia-Belanda
• Masalah Plebisit
Dalam lanjutan perundingan, KTN dianggap lebih condong memihak Belanda karena Indonesia harus menerima apa yang dinamakan Garis Van Mook. Dengan dasar gencatan senjata yang berpegang pada garis satus quo inilah pihak Indonesia dipaksa menelan kekecewaan berupa keharusan mengosongkan kantong-kantong basis gerilya di Jawa Barat, dimana pasukan divisi Siliwangi TNI harus tunduk pada perintah untuk melaksanakan hijrah ke wilayah kekuasaan republik di Jawa Tengah.
Hasil perundingan menimbulkan dua reaksi keras yang datang dari dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri, Panglima Besar Jenderal Soedirman menyatakan bahwa status TNI hanya dapat berubah jika telah dibentuk Angkatan Perang NIS yang seluruhnya beranggotakan seluruhnya dari orang-orang Indonesia dan tidak merupakan campuran dari serdadu-serdadu bangsa lain, serta TNI berfungsi sebagai inti. Sedangkan dari luar negeri, wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan PBB, Gromyko mengatakan bahwa KTN terlalu menekan pihak RI demi keuntungan Belanda, suatu pengkhianatan besar dari dewan terhadap suatu bangsa di dunia.[3] Bahkan, Gromyko sempat menguliahi sidang PBB pada akhir tahun 1948. Ia mengatakan bahwa Dewan Keamanan telah memperantarai penyelesaian yang seharusnya mengingatkan semua orang akan kata-kata Mark Twain, “kalau ayam mengeluarkan telur berukuran normal, dia berkotek seolah-olah habis menciptakan satu planet kecil”. Ia juga mengusulkan agar perjanjian Renville dipajang dalam museum sebagai dokumen memalukan yang dibuat karena PBB telah melupakan penderitaan bangsa-bangsa terjajah,dan hanya mengabdi kepada kerakusan kapitalis Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.[4]
Namun, semua reaksi di atas sebenarnya tidak seperti apa yang dimaksudkan oleh Frank Graham yang memainkan peranan sentral dalam perumusannya. Berdasarkan apa yang dianggapnya jaminan kuat dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Graham telah memberikan Amir Sjarifuddin jaminan kuat yang sama, bahwa Amerika Serikat akan menekan Belanda agar mematuhi kewajibannya dalam perjanjian Renville.[5]
Sementara itu menurut Charlton Ogburn, yang telah berusaha keras dalam membuat perundingan Renville akhirnya telah membuahkan hasil, bertahun-tahun kemudian bakal mengenang bahwa perundingan Renville adalah “buah yang masam” karena Belanda menandatanganinya dengan satu pemahaman, dan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia menandatanganinya dengan pemahaman lain lagi.
Akan tetapi, Graham dan Amir tidak bisa mengantisipasi bahwa para pejabat senior AS yang berpengaruh dalam pemerintahan Amerika Serikat akan mengambil kesimpulan bahwa konsesi-konsesi yang telah ditarik Graham dari pihak Belanda dianggap terlalu jauh dan tidak dapat dipertahankan.[6] Akhirnya setelah Perundingan Renville, Graham diberhentikan dan digantikan oleh Coert Dubois, seorang pegawai luar negeri karir yang terkenal bersikap pro Belanda.
Digantikannya Frank Graham dari posisinya sangat mengecewakan wakil Indonesia dalam perundingan Renville, yaitu Amir Sjarifuddin. Wakil Amerika Serikat, Profesor Frank Graham, yang dianggapnya sebagai teman baik dan seiman, pernah sama-sama menjadi tokoh Gerakan Mahasiswa Kristen semasa muda mereka, ditarik kembali oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Graham lah yang meyakinkan Bung Amir agar menyetujui tuntutan Belanda supaya Tentara Nasional Indonesia mengosongkan daerah pendudukan.
Selanjutnya, dua partai (PNI dan Masyumi) yang menjadi koalisinya pun harus mengundurkan diri karena merasa tidak mampu menjalankan hasil perundingan Renville. Amir dan kabinetnya pun juga harus dijatuhkan karena dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya. Kalangan sayap kiri pendukung Amir Sjarifuddin melihat bahwa Amir tak punya pilihan lain selain menandatangani perundingan Renville, terutama karena utusan-utusan Washington mengancam akan mundur dari keterlibatannya dalam penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda jika Republik Indonesia menolak mengikuti prnsip-prinsip legalistik perundingan Renville.[7]
Graham meyakinkan Amir di KTN Dewan Keamanan PBB bahwa dengan menandatangani kesepakatan gencatan senjata, meski dengan berat hati mereka berarti memilih menentukan nasib lewat kertas suara, bukan lewat senjata. Pilihan tersebut menurut Graham, jelas bakal menarik bagi kecenderungan politik pemerintahan Presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman.
Pada bulan-bulan awal 1948, para pejabat Belanda bersuka ria karena mengetahui sikap pro Belanda Amerika, yang pada gilirannya menimbulkan rasa percaya diri dan komunikasi dari Kedutaan Besar Belanda di Washington ke Den Haag dan Jakarta. Pandangan positif makin kuat dengan digantikannya Frank Graham sebagai wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara. Teman-teman Indonesia Frank Graham melepas kepergian pembela mereka dengan sedih walau mereka senang mendengar bahwa sepulangnya dari Indonesia ke Amerika, Frank Graham diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Indonesia bagi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Frank Graham telah membuktikan objektivitasnya dalam membantu menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dengan Belanda meskipun tindakannya dianggap oleh Belanda dan pemerintah Amerika Serikat dianggap terlalu pro Republik. Dari latar belakang Frank Graham yang pernah menjadi seorang aktivis hak sipil orang Afrika-Amerika di negara asalnya, ia pun lebih terkesan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam menuntut kedaulatannya dari tangan Belanda.
Pengaruh Perang Dingin dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang lebih memfokuskan untuk membantu negara sekutunya, yaitu Belanda tidak begitu mempengaruhi Frank Graham. Dalam melaksanakan tugasnya di Indonesia, ia bisa menempatkan posisinya sebagai bangsa Indonesia sehingga tindakannya harus bertentangan dengan pejabat-pejabat senior Amerika Serikat dan menyebabkan dirinya harus digantikan oleh Coert Dubois.
Frank Graham juga memiliki peranan penting dalam perumusan perundingan Renville. Di dalam penandatanganan perundingan tersebut, ia juga orang yang berhasil meyakinkan delegasi Indonesia, yaitu Amir Sjarifuddin agar mau menadatangani perundingan tersebut.
Namun, hasil dari perundingan tersebut menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak, baik Amerika, Belanda, Indonesia dan juga PBB. Kesalahan dalam perundingan Renville disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran antara Belanda dan Indonesia. Akhirnya, Frank Graham dan Amir Sjarifuddin pun harus rela kehilangan jabatannya karena keduanya tidak dapat mengantisipasi desakan yang datang dari pihak yang menentang hasil perundingan tersebut.
Amir yang merasa kecewa dengan digantikannya Frank Graham dan kehilangan posisinya sebagai perdana menteri, akhirnya melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948 bersama Muso, seorang tokoh komunis yang baru saja kembali dari Uni Soviet. Sedangkan Graham diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Indonesia bagi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat setelah kembali ke negaranya.

Catatan Kaki
1. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, Indonesia Merdeka karena Amerika? (Jakarta: Serambi, 2008), p. 56.
2. Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI (Balai Pustaka: Jakarta, 1984), p. 136.
3. Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa (Jakarta: CV Rajawali Corporation, 2002) pp. 72-75.
4. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, op.cit., p. 286
5. George McTurman Kahin. Denyut Nadi Revolusi Indonesia: Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), p. 17.
6. George McTurman Kahin, ibid., p. 19.
7. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, op.cit., p.294.

Daftar Pustaka
Elson, R.E. The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi. 2009.
Gouda, Frances dan Zaalberg, Thijs Brocades. Indonesia Merdeka karena Amerika?. Jakarta: Serambi. 2008.
Kahin, George McTurman. Denyut Nadi Revolusi Indonesia: Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1997.
Nordholt, Henk Schult. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1984.
Setyohadi, Tuk. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Rajawali Corporation.2002.

Achmad Seftian Pend. Sejarah 2008