Thursday, 2 September 2010
Kecewa, itulah barangkali yang dirasakan oleh rakyat Indonesia seusai menyaksikan Pidato presiden SBY Rabu 01 September 2010 Pkl. 21.00 WIB di Mabes TNI Cilangkap. Betapa tidak isi pidato presiden yang isinya kurang lebih masih bersikap lembut terhadap sikap Malaysia yang telah jelas menginjak-injak kedaulatan bumi pertiwi. Dengan alasan serumpun dan latar belakang historis yang kuat diantara kedua negara pidato presiden kurang memberikan sinyal yang keras terhadap Malaysia. Mengapa tidak berperang saja, kata kata tersebut mungkin ada disebagian besar benak rakyat yang menyaksikan pidato tersebut dan jika para Founding Fathers bangsa ini ada yang masih hidup mungkin mereka langsung mendaftar menjadi sukarelawan Ganyang Malaysia.
Malaysia boleh berbangga dengan kekuatan ALUTSISTA yang canggih, anggran militer sebesar US$ 1.69 Triliun dan pakta pertahanan FPDA (Five Power Defence Arrangements) yang terdiri dari negara Inggris, Singapura, Australia, Selandia baru dan Malaysia.
Namun harus diingat dalam peperangan faktor Moral merupakan hal yang terpenting didalam peperangan. Sejarah telah membuktikan, angkatan laut Italia yang merupakan angkatan laut termodern pada PD II (P.K Ojong “ Perang Eropa” kompas 2004) dipecundangi oleh Sekutu yang mempunyai Moral bertempur yang kuat.
Dalam konteks yang berbeda antara kasus Indonesia & Malaysia barangkali jika kita melihat kebelakang pada awal abad ke 19 ada ambisi Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte untuk menaklukan seluruh Eropa dan Afrika dan menjadikan laut tengah sebagai danau imperium Perancis. Dalam pertempuran di Trafalgar Admiral Inggris, Horatio Nelson berhasil mengomandoi 27 kapal Inggris untuk memukul mundur 33 kapal gabungan Perancis & Spanyol di Trafalgar, alhasil 18 kapal Perancis karam dan sisanya melarikan diri ke Cadiz. Walaupun kemenangan Inggris ini harus ditebus mahal oleh gugurnya Admiral Nelson yang sedang memberi semangat kepada pasukannya karena tertembus peluru oleh sniper di kapal Perancis asal Tyrol. Itulah gambaran mengenai Inggris dengan seorang Admiral briliannya yang berani melawan Perancis yang jumlah armadanya lebih besar tanpa gentar sedikitpun melawan Perancis yang pada saat itu menjadi negara berkekuatan militer besar dan pasukan elit yang handal Imperial Armee Grandee.
Lalu bagaimana kisah Jendral Inggris di Indonesia ? ada suatu peristiwa yakni tentunya pasti kita ingat sebagai seorang warga negara yang baik yakni pertempuran 10 November. Kedatangan tentara sekutu pasca kemenangan mereka dalam perang dunia II yang memboncengi Belanda dengan sebuah aliansi yang bernama AFNEI. Untuk memuluskan tujuan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia menghasilkan kematian Brigjen A.W.S Mallaby ditangan para arek – arek Suroboyo.
Bagaimana para pendahulu kita bisa menewaskan seorang Jendral bintang satu tersebut merupakan suatu yang bisa dikatakan prestasi tersendiri yang dilakukan oleh pendahulu kita. Betapa tidak, Inggris baru kehilangan Jendral setelah 5 tahun perang dunia II. dalam kuliah saya bersama seorang sejarawan Dr. Anhar Gonggong beliau menyatakan bahwa Pemuda Indonesia berangkat menuju Surabaya untuk melakukan pertempuran dengan hanya bermodalkan bambu runcing yang dibacakan jampi – jampi oleh para kyai (Saifudin Zuhri “Berangkat dari Pesantren” Gunung Agung 1987). Bukan berati Jendral A.W.S Mallaby tewas dengan sebilah bambu runcing, disamping para pemuda Indonesia yang notabene merupakan bukan tentara professional bertempur menggunakan bambu runcing & Celurit para pemuda tersebut juga menggunakan senjata hasil rampasan dalam pertempuran selama 3 hari tersebut yang berakhir dengan terkibarnya bendera putih tentara Inggris.
Itulah sebuah gambaran bagaimana para pendahulu kita berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan & Kedaulatan negeri ini, seharusnya Presiden yang berlatar belakang militer tak segan - segan menyatakan perang terhadap Malaysia ketimbang harus selalu bersikap lembut dan menunggu diinjak-injak lagi. Apakah hanya karena investasi Malaysia yang hanya US$ 1 Milyar & TKI yang selalu dielu-elukan sebagai pahlawan devisa yang berjumlah 2 juta presiden selalu bersikap lembut. Semestinya pula presiden harus bersikap kongkret terhadap tindakan Malaysia daripada mengajukan nota protes yang tidak pernah digubris oleh pemerintahan Malaysia.
Belajar dari kisah heroik Admiral Horatio Nelson dengan semboyan Angkatan Laut Inggris “British Rule The Waves” dan prestasi yang dilakukan oleh para pendahulu kita dengan menewaskan Brigjen Mallaby sudah selayaknya Jalasveva Jayamahe tidak sekedar menjadi Jargon.
Referensi
Referensi
Baca Selengkapnya......