Saturday, 22 May 2010
Sampai beberapa tahun setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Pada akhirnya, Soeharto membangun apa yang dikenal dengan “Orde Baru” Indonesia, untuk membedakannya dengan “Orde Lama” dari masa pemerintahan Soekarno. Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok – kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu. Namun, dalam waktu beberapa tahun, para elite Orde Baru yang intinya terdiri atas faksi militer mulai menerapkan sistem sentralisme kekuasaannya. Militer yang lebih terpusat kini mengambil alih pemerintahan daerah. Pada tahun 1968, 17 dari 25 provinsi diperintah oleh perwira militer.
Orde Baru Soeharto bukan rezim militer, tapi memberikan kedudukan amat istimewa kepada angkatan bersenjata yang telah membantunya naik ke tampuk kekuasaan dan menjamin stabilitas. “ABRI” kata Soeharto, “Jelas sudah menyatakan berdiri mendukung penuh Orde Baru. Sikap ABRI tersebut tidak hanya omongan, tapi akan dilaksanakan sungguh – sungguh.” Sebaliknya Orde Baru membentuk dan memperdalam peran angkatan bersenjata dalam berpolitik.[1] Keadaan tentara sendiri pada saat itu tetap sempit secara sosiologis (didominasi perwira asal Jawa yang memimpin 13 dari 17 Kodam pada 1970), curiga terhadap politik Islam, dan makin kosmopolitan.
Ketika stabilitas politik dan keamanan dalam negeri sudah bisa dikendalikan dengan baik lewat kinerja sentralistik ABRI, Orde Baru mulai membuka kembali tatanan hubungan luar negeri mereka. Soeharto dalam waktu seketika menggalangkan penanaman modal asing dengan Amerika Serikat dan Jepang sebagai investor utama di Indonesia. Selanjutnya Soeharto juga sangat selektif dalam memilih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “elite militer”, muncul nama – nama seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardani, Soedomo, Sutopo Juwono, dan Soemitro dalam jajaran pemerintahan elite negeri ini.
Persaingan faksi militer di dalam pemerintahan terbawa sampai ke urusan publik, terutama mengenai penanaman modal Jepang di Indonesia. Jepang mengambil 53% ekspor Indonesia pada tahun 1973 (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok lebih dari 29% impor Indonesia. Di samping itu, Jepang lebih menonjol karena investasi mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi para pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia, dibantu oleh orang yang dekat dengan istana kepresidenan. Kritik dilontarkan terutama kepada Ali Moertopo dan salah satu kolega terdekat Soeharto lainnya yaitu Mayjen. Sudjono Humardani, yang dianggap sebagai pembimbing mistis Presiden dan juga perantara bagi para investor asing (terutama Jepang) yang mencari kebaikan hati pemerintah.[2]
Kedatangan PM Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada Januari 1974 dijadikan momentum bagi para Mahasiswa untuk demonstrasi menolak masuknya modal asing. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan Mahasiswa tidak berhasil menorobos masuk pangkalan udara tersebut.[3] Hal tersebut menimbulkan kemarahan para Mahasiswa dan puncaknya menimbulkan kerusuhan serta huru – hara di Jakarta. Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka – luka, 755 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak berat. Peristiwa Malari dapat dikatakan sebagai kerusuhan yang paling buruk di ibu kota sejak kejatuhan Soekarno. Bagi Soeharto kerusuhan Malari telah mecoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan tamu Negara, PM Jepang. [4]
Banyak opini yang berkembang bahwa peristiwa Malari hanyalah persaingan faksi ditubuh elite militer. Rivalitas utama terjadi antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Ali Moertopo beranggapan bahwa Soemitro bertanggung jawab atas kerusuhan yang telah memporak – porandakan Jakarta. Ali menambahkan bahwa Soemitro bermurah hati kepada para demonstran atau berusaha menggunakan krisis negara untuk kepentingan politiknya. Soemitro turut membela diri setelah mendapatkan laporan dari bawahannya bahwa kerusuhan tersebut dilakukan oleh orang – orang eks DI/TII binaan Ali Moertopo.
Presiden Soeharto sendiri pada saat itu lebih cenderung merapat kepada kubu Ali Moertopo sang anak emasnya. Hal ini terbukti dengan pencopotan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan didepaknya Sutopo Juwono dari kepala Bakin. Kebijakan pencopotan Soemitro sendiri banyak disesalkan oleh para pengamat, karena dengan demikian kekuasaan Ali Moertopo semakin menanjak. Pasca kejatuhan Soemitro dari jajaran tinggi militer. Setelah rivalnya jatuh, Ali Moertopo memperoleh jabatan strategis dan intelejen penting dalam hirarki Orde Baru.
Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa persaingan dalam elite milter dalam peristiwa Malari merupakan simbolisasi kekuatan sentral ABRI dalam kehidupan bernegara. Bahkan peristiwa diatas dapat dianalogikan sebagai efek bola blilliard karena banyak dari elite – elite militer secara bertahap akhirnya dibekukan posisinya oleh Soeharto.
1. R.E. Elson, The Idea Of Indonesai, (Jakarta : Serambi, 2009). Hal. 386.
2. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Jakarta : Serambi, 2005).
Hal. 588.
3. Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, (Yogyakarta : Ombak, 2007). Hal. 81.
4. Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, (Yogyakarta : Kompas, 2009). Hal.
127.
Adam, Asvi Warman, Seabad Kontroversi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2007.
Adam, Asvi Warman, Membongkar Manipulasi Sejarah, Yogyakarta : Kompas, 2009.
Elson, R.E, The Idea Of Indonesia, Jakarta : Serambi, 2009.
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta : Serambi, 2005.
“Malari 1974 Dan Sisi Gelap Sejarah”, Kompas (16 Januari 2003).
0 comments:
Post a Comment