Kehidupan Masyarakat Baduy Dalam Perspektif MARX

Tuesday, 15 February 2011


PENGANTAR
Menurut Marx, hakikatnya manusia terlahir atas dasar tiga tuntutan, yaitu emansipasi, berproduksi dan hidup bebas. Manusia terlahir untuk hidup secara bersama, pada dasarnya manusia tidak diciptakan untuk hidup secara individualis. Untuk mencapai eksitensi hidup, manusia harus hidup secara bersama. Manusia sebagai alat produksi. Manusia harus berproduksi dan menciptakan alat produksi sendiri. Manusia menciptakan alat untuk membantu kehidupannya sendiri, untuk memenuhi kebutuhan materi. Manusia bertindak atas dasar naluri kebutuhan materil. Sebagai mahluk yang berproduksi, maka manusia sebenarnya memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, mengingat setiap manusia pada dasarnya memerlukan bantuan orang lain, karena keterbatasan dalam kepemilikan alat produksi. Atas dasar kekurangan itulah, manusia harus membentuk secara komunal.
Tuhan ada atas dasar akal manusia. Manusia berfikir tentang Tuhan maka Tuhan itu ada. Keberadaan Tuhan dalam pikiran manusia terlahir ketika manusia mengeluh tentang realitas hidup yang dialaminya/ Dalam konteks itu-lah Tuhan ada dalam pikiran manusia/
Keberadaan negara dalam konteks masyarakat tidak diperlukan, karena negara bersifat mengekang kebebasan individu dalam masayakarat. Kebebasan yang dirampas oleh negara dari masyarakat adalah mengakui alat-alat produksi dan menjadi hak milik negara.
Masyarakat Baduy yang bermukim di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten memiliki karakteristik masyarakat yang sama dengan pemikiran Marx tentang hakikat manusia yang dijabarkan dalam tiga pokok pikiran dua tas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Garna sebagaimana dikutip oleh Eka Permana, adalah masyarakat komunal. Masyarakat komunal adalah masyarakat yang hidup atas dasar kekerabatan secara bersama, berproduksi secara bersama dan dinikmati dengan cara bersama-sama.

Komunalitas masyarakat Baduy terangkum dalam satu konsep adat yang disebut dengan pikukuh. Pikukuh (aturan) tentang pembagian lahan komunal dan lahan individu yang dibagikan secara bersama-sama, ajaran Ketuhanan yang sama tentang Dewi Sri yang diejawantahkan dalam ritual yang dikenal dengan Kawalu, dan perilaku yang dituntun untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama.
Kawalu merupakan upacara “terima kasih” warga Baduy kepada Gusti Nu Kersa atas rezeki (panen) yang diberikan. Mungkin tanpa panen padi, kawalu tidak akan ada. Kawalu merupakan manifestasi atas materialisme-nya manusia tentang Ketuhanan.

UNTUK BEREMANSIPASI

Manusia terlahir untuk hidup secara bersama, pada dasarnya manusia tidak diciptakan untuk hidup secara individualis. Untuk mencapai eksitensi hidup, manusia harus hidup secara bersama. Manusia sebagai alat produksi. Manusia harus berproduksi dan menciptakan alat produksi sendiri. Manusia menciptakan alat untuk membantu kehidupannya sendiri, untuk memenuhi kebutuhan materi. Manusia bertindak atas dasar naluri kebutuhan materil. Sebagai mahluk yang berproduksi, maka manusia sebenarnya memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, mengingat setiap manusia pada dasarnya memerlukan bantuan orang lain, karena keterbatasan dalam kepemilikan alat produksi. Atas dasar kekurangan itulah, manusia harus membentuk secara komunal.
Untuk mengalisa masyarakat Baduy sebagai konteks pemikiran Marx, pertama kali harus menguraikan tentang asal-usul (“kelahiran”) masyarakat Baduy. Menurut pitutur (perkataan) dari Jaro Daina, masyarakt Baduy lahir sebagai pendahulu dari manusia di seluruh dunia, nabi Adam turun di Baduy. Ada empat jenis Adam dalam pemikiran Baduy, yaitu Adam Tunggal, Adam Tapel, Serpin, dan Adam Hawa. Adam tunggal adalah adam yang pertama kali menciptakan wiwitan artinya asli. Selain Adam Tunggal yang disebutkan di atas adalah adam-adam yang menjadi utusan dari Adam Tunggal, Adam Serpin adalah penguasa yang memerintah negeri siluman dan iblis. Adam Tapel adalah adam yang memiliki kerajaan atau yang memerintah di seluruh dunia, sedangkan Adam Bani Hawa adalah adam yang menjadi cikal bakal dari manusia di seluruh dunia.

Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, masyarakat Baduy adalah turunan dari adam tunggal yang menjadi inti jagat dari dunia ini. Dalam masa penciptaan dunia menurut kepercayaan masyarakat Baduy, Baduy diciptakan sebagai inti jagat dunia yang menciptakan tujuh lautan dan tujuh samudera dan tujuh lapis bumi. Sebagai inti jagat dunia, daerah Baduy menjadi pusat mandala dari dunia. Mandala ini harus dijaga agar tidak rusak yang disebut dengan pikukuh. Pikukuh adalah aturan tentang bekerja, berusaha dan berdoa. Dalam ajaran pikukuh Baduy, ada dua jenis pokok, yaitu 1) manusia dianggap semuanya adalah bersaudara dan saling membantu, dan; 2) manusia harus berperilaku (laku lampah) menurut ajaran kebaikan yang memegang pada aturan yang berasal dari adam tunggal. Adam tunggal memerintahkan untuk menjaga pusat inti jagat dunia dalam bentuk hutan larangan. Hutan larangan itu harus dicegah dari kerusakan tangan-tangan manusia, dengan tujuan agar kehidupan manusia damai.

Hal yang sama dalam pikukuh Baduy yang memandang bahwa alam dunia terdiri dari inti-jagat (wilayah Baduy) yang menjadi mandala, dan wilayah lain sebagai wilayah “tidak suci” yang harus menjadi tanggungan warga Baduy bersama-sama dengan Mandala untuk menjaga keseimbangan alam, yang dimanifestasikan dalam penjagaan atas kelestarian dan terpeliharanya hutan larangan sebagai penyedia sumber air di wilayah Banten dan Pulau Jawa. Manifestasi emansipasi Baduy juga dapat dilihat dari tindakan Jaro Daina yang mendatangi Sidoarjo untuk “nyeka” bumi Sidoarjo untuk meminta bantuan Nu Ngersakeun. Emansipasi kemanusiaan Suku Baduy terhadap bencana Lapindo digambarkan dalam konsep tata ruang Suku Baduy yang memandang bahwa Pulau Jawa adalah tempat “hidupnya” Pegunungan Kendang yang menempatkan Ujung Kulon sebagai kepala dan Sidoarjo sebagai kaki dengan Kanekes (tempat bermukimnya orang Baduy) sebagai jantungnya Pulau Jawa. Bencana di Sidoardjo adalah luka terhadap kaki Gunung Kendeng yang menyebabkan Baduy harus ikut andil dalam menyembuhkan (melalui tapa brata) kaki (Sidoardjo yang diterpa bencana Lapindo).
Emansipasi orang Baduy juga nampak dalam hal pembagian tanah (huma untuk berladang) diantara para warga. Dalam struktur kekuasaan di Suku Baduy, terdapat jabatan yang disebut dengan Girang Seurat. Girang Seurat memiliki kedudukan yang sejajar dengan Jaro Tangu (Jaro Baduy Dalam) dan sebagai kepanjangan (wakil) dari Puun (Kepala Suku) Baduy. Sebagaimana fungsi Puun Cibeo yang berwenang sebagai pemimpin spiritual di bidang kesejahteraan rakyat, Girang Seurat mendapatkan wewenang dalam mengatur pembagian tanah. Bagi masyarakat Baduy, tanah adalah titipan Nu Ngersakeun untuk umat. Kepemilikan tanah secara pribadi tidak diperkenankan sejauh tanah tersebut berada di wilayah di Baduy Dalam. Tanah bagi Baduy Dalam dibagikan untuk digarap sebagai lahan menanam padi.

Dalam menentukan siapa yang berhak menanam padi pada lahan tanah tertentu, Girang Seurat bersama-sama dengan kesepakatan semua warga menentukan siapa saja yang berhak menggarap lahan, seluas apa dan di sebelah mana yang diperbolehkan untuk digarap. Selain mengatur lahan untuk garapan pribadi, juga Girang Seurat menentukan cara menggarap huma komunitas yang disebut degan Huma Serang untuk digarap secara bersama-sama antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Melalui pembagian tanah pribadi dan penentuan kegiatan bersama untuk bercocok tanam di Huma Serang, Baduy memanifestasikan emansipasi manusia untuk saling membagi tugas untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan sosial. Perimbangan antara hak dan kewajiban terhadap di komunitas dalam garapan huma baik pribadi maupun Huma Serang menunjukkan bahwa warga Baduy mewujudkan sifat emansipasi manusia yang menjadi karakteristik manusia menurut Marx. Emansipasi terjadi ketika manusia sebagai alat produksi yang memiliki alat (tukang_istilah bagi Gramsci) untuk menghasilkan produk menyadari bahwa mereka membutuhkan kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain adalah kebutuhan akan pemenuhan hidup karena tanpa kehadiran orang lain kebutuhan hidup tidak akan tercapai.


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Pembriedelan Pers di Indonesia 1966-1978

Friday, 12 November 2010


Pelarangan terbit atau “pembreidelan” merupakan masalah yang amat sensitif dalam perkembangan kehidupan pers di tanah air. Status pelarangan terbit terhadap surat kabar ini terbagi menjadi dua, yaitu dilarang terbit untuk selamanya, atau ada yang dilarang terbit untuk sementara waktu. Pembreidelan sendiri sering juga dilakukan dengan disertai penahanan kepada pimpinan surat kabar itu sendiri. Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di zaman Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan. Hal itu disebabkan beberapa kali pula terjadi perubahan dalam corak pemerintahan (1).

Sampai 1957, masa puncak perkembangan pers dalam dasawarsa pertama sesudah pengakuan kedaulatan, Indonesia mempunyai 116 surat kabar harian dan juga lebih banyak lagi mingguan dan tengah mingguan (2). Pada 1957 pemerintah Presiden Soekarno mulai melarang semua penerbitan berbahasa Belanda akibat ketegangan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Tahun 1959 terjadi pembreidelan bersama pada sebagian besar surat kabar berbahasa Cina.

Saat periode demokrasi terpimpin dan mulai diberlakukannya “Undang-Undang Darurat Perang”, pers mulai menjadi senjata pemerintah dalam memobilisasi rakyat dalam usaha propaganda ideologi Nasakom. Presiden Soekarno tanpa ragu melarang surat kabar yang berani menentang kebijakan yang ia jalankan. Dibawah pemerintahannya, surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis juga tumbuh dengan subur. Di lain pihak muncul perlawanan yang dilakukan kelompok surat kabar sayap nasionalis terhadap kelompok surat kabar kiri. Presiden Soekarno sendiri menjadikan konflik ini sebagai kemenangan besar baginya untuk mencapai dominasi politik dirinya dalam dunia pers nasional. Dalam periode politik yang cenderung mengarah kepada kekuasaann etatisme ini, kelangsungan pers nasional, termasuk organisasi pers (PWI), dipandu menjadi “pers terpimpin” yang harus mengabdi kepada proyek besar revolusi yang belum rampung (3).

Dalam upaya mengkonsolidasi kekuasaanya lewat jargon revolusi belum selesai, Presiden Soekarno dengan sangat ketat mengontrol pers dan berusaha membuat mereka menjadi penurut. Pada 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit dimana setiap penerbitan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh SIT (Surat Izin Tebit). Agar izin itu diperoleh penerbit, maka mereka perlu memenuhi persyaratan tertentu, antara lain loyal kepada Manifestasi Politik Soekarno, serta menjadi “terompet rezim” dalam berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, serta separatisme. Saat itu para penerbit dan pemimpin redaksi diwajibkan menandatangani dokumen berisi 19 pasal, tentang janji untuk setia kepada program Manifestasi Politik, pemerintah, dan Presiden Soekarno sendiri. Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman terpaksa menandatangani dokumen yang kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap berjalan terus. Namun ironisnya, tidak berapa lama kemudian, pada januari 1961 Pedoman dilarang terbit oleh karena orientasinya yang berpihak pada PSI.

Pada 24 September 1962 Kantor Berita Antara dinasionalisasikan dengan mempergunakan Dekrit Presiden No.307/1962 (4). Selanjutnya Antara berada di bawah pengaruh kaum komunis, seiring menguatnya peran PKI di pemerintahan. Kondisi ini sudah mencapai tahap yang sungguh kritis, karena lebih dari separuh berita yang di keluarkan Antara sangat jelas bersifat pro-komunis. Selain itu, Harian Rakjat surat kabar milik PKI, semakin meningkat tajam jumlah terbitannya, dimulai 75.000 eksemplar pada 1964, dan meningkat lagi hingga 85.000 pada 1965. Melihat hal itu, banyak pihak yang mulai mencoba melawan sikap agresif PKI, mereka antara lain Adam Malik, B.M. Diah serta kelompok lain yang anti komunis. Konflik itu semakin terbuka ketika Merdeka surat kabar milik B.M. Diah memulai perseteruannya melawan Harian Rakjat PKI melalui isi berita yang mereka tulis. Terkesan Presiden Soekarno sendiri lebih memihak kaum komunis, karena ia menganggap PKI lebih berguna bagi stabilitas kekuasaannya. Oleh karena itu, pada periode Februari sampai Maret 1965, 27 surat kabar yang diduga melakukan konflik terbuka dengan PKI dilarang untuk terbit.

Demi menebus kekalahan yang dialami media anti-komunis dan untuk membendung tumbuhnya pengaruh komunis, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha. Pihak militer melakukan hal tersebut sebagai rencana mereka mengucilkan pihak komunis ke dalam arena informasi yang sebenarnya. Dengan terbitnya Berita Yudha, para jenderal seperti A.H. Nasution dan Ahmad Yani memastikan bahwa PKI kini mulai menemukan rival yang setimpal, karena sebelumnya PKI selalu diuntungkan lewat kebijakan pers yang dikeluarkan Presiden Soekarno. Di sisi lain, PKI menilai bahwa surat kabar yang diterbitkan oleh pihak militer itu hanyalah sebuah strategi pemusnahan ide-ide komunisme dalam tatanan teoritis. Kalangan yang anti komunis menyambut gembira atas tindakan cerdas yang diambil para petinggi militer ini, karena bagi mereka, tekanan pada PKI sudah mencapai sudut yang paling sensitif. Presiden Soekarno sendiri nampak membiarkan aktivitas yang dilakukan pihak militer dalam dunia pers nasional, meskipun PKI selalu memperingati bahwa Berita Yudha adalah embrio oposisi bagi kekuasaannya kelak.

Peristiwa G30S telah menjadi sebuah efek bola salju yang telah dinantikan pihak militer dalam penghancuran PKI secara menyeluruh. Kini Angkatan Darat beserta mahasiswa siap melakukan pukulan balasan pada PKI dan organisasi massanya yang diduga sebagai dalang utama dari peristiwa G30S. Dinamika politik yang terjadi sangat cepat dalam periode 1965 sampai 1966 telah membuat posisi Angkatan Darat berada di puncak singasana. Soeharto yang sebelumnya kurang dikenal mengambil peran utamanya dalam penumpasan para petinggi PKI beserta pengikutnya. Ia membreidel surat kabar Harian Rakjat yang menjadi organ penting PKI serta 45 penerbitan lainnya. Soeharto juga mengadakan aksi pembersihan massal terhadap ratusan wartawan yang memliki hubungan dekat dengan PKI. Selanjutnya PKI kehilangan sebagian besar SDM yang dimilikinya akibat proses penghancuran yang sungguh represif. Setelah gugurnya PKI dalam dunia politik di Indonesia transisi pun terjadi di mana Presiden Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaannya pada Jenderal Soeharto pada Maret 1968.

Pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto yang masih melakukan konsolidasi dalam tahap pemulihan pemerintah, jelas membutuhkan dukungan dari pers. Untuk masa yang singkat, Orde Baru membuka ruang kebebasan dalam dunia pers nasional, dibandingkan masa Demokrasi Terpimpin. Soeharto mulai menghidupkan kembali beberapa surat kabar yang izin terbitnya pernah dilarang oleh Soekarno, seperti Merdeka, Pedoman, dan Indonesia Raja. Antara tahun 1965 hingga 1972, diperkirakan Soeharto mengeluarkan beberapa izin penerbitan (SIT) yang jumlahnya mencapai 1.559 buah. Soeharto saat itu membuktikan bahwa rezim yang ia kendalikan membawa arus paradigma baru di dunia pers. Meskipun iklim keterbukaan telah dibuka, masih terdapat pengekangan terhadap pers yang berlatar belakang politik. Misalnya, pada 1969, harian Warta Berita dilarang terbit karena berani memuat pidato Kim Il Sung, pemimpin komunis Korea Utara.

Di awal 1970-an wilayah kebebasan pers akhirnya mengalami tekanan serius terutama dari pihak militer yang menginginkan pers tidak mempublikasikan tentang masalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat itu. Mirip dengan zaman rezim Demokrasi Terpimpin, hanya berbeda kemasan rezim Orde baru melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus di atur dan di kontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan partai politik (5). Unit komunikasi harus mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah ini dapat mencapai tujuannya (6). Di bawah kebijakannya Orde Baru secara aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dengan menggunakan media massa sebagai alat kontrol sosial untuk mengatur hubungan antar individu serta masyarakat. Karena keadaan belum sepenuhnya kondusif bagi pemerintah untuk menerima kritik, umumnya para wartawan melakukan strategi yang lihai dalam metode penulisan yang dibuat, hal tersebut dilakukan agar tulisan yang siap cetak ini tidak menjadi bumerang bagi mereka di kemudian hari.

Apa yang terjadi selanjutnya membuktikan lemahnya kapasitas rezim Orde Baru dalam mewujudkan iklim demokrasi di dunia pers nasional. Tahun 1971, Harian Kami dan Duta Masyarakat dilarang terbit untuk sementara waktu akibat liputan mereka mengenai Pemilu 1971. Sebelumnya harian Sinar Harapan juga mengalami hal serupa ketika menerbitkan berita tentang korupsi di pemerintahan. 19 Januari 1972, Jenderal Soemitro, Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib, memanggil para pemimpin redaksi harian di Jakarta. Meski pertemuan itu terkesan akrab, namun jenderal itu mengingatkan kepada setiap pemeimpin redaksi agar dapat “jaga lidah”, demi tercapainya stabilitas Pembangunan Nasional. Pada 1973, pihak militer semakin mengintervensi dunia pers nasional ketika mereka berusaha mengontrol PWI dengan menempatkan Harmoko sebagai calon ketua. Harmoko dianggap pemerintah lebih dapat dikontrol dibanding wartawan-wartawan senior saat itu. Memang terbukti, kongres PWI ke-15 yang diadakan di Tretes, akhirnya dimenangkan Harmoko.

Sikap keras pemerintah terhadap pers nasional akhirnya meledak pada peristiwa Malari 1974. Situasi sosial dan politik dalam negeri saat itu cukup hangat. Sikap pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal asing sedang ramai dibicarakan saat itu. Banyak kalangan yang menganggap kerja sama ekonomi yang dilakukan Soeharto dengan pihak asing hanya membawa dampak negatif bagi negara. Kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dijadikan momen tepat bagi masyarakat dan mahasiswa untuk melampiaskan kekecewaan mereka. Mahasiswa berdemo di seantero kota untuk mendeklarasikan ketidakpuasannya atas modal asing yang terutama berasal dari Jepang. Selanjutnya keadaan makin tak terkendali ketika mahasiswa telah dipenuhi gelombang perusuh. Terjadi penjarahan dan pembakaran yang disertai penyerangan pada setiap sarana publik oleh perusuh yang tak jelas asalnya. Asap hitam membumbung tinggi di Jakarta tanpa ada reaksi sedikit pun dari pihak keamanan. Baru pada hari kedua, tentara mendapatkan perintah tembak ditempat bagi para penjarah yang mengakibatkan 11 orang terbunuh dan ratusan lainnya mengalami luka parah.

Pers sebagaimana kodratnya, memberitakan kerusuhan itu dengan antusias sekali. Kemudian kalangan pers memberi nama kerusuhan tersebut dengan nama “Malari” sebagai singkatan dari malapetaka Januari. “Malari” kemudian terbukti selain meminta korban materi dan jiwa, juga meminta korban sejumlah surat kabar yang dilihat dari kacamata pemberitaan dinilai negatif bagi pemerintah. Mereka pun terkena vonis, ada yang dicabut SIT (Surat Izin Terbit) dan ada pula yang dicabut SIC (Surat Izin Cetak). Korban-korbannya antara lain, harian Nusantara lewat SK Menpen No: 015/DR/ Ditjen PPG/1974, tertanggal 16 Januari 1974. Lalu Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung, berdasarkan SK Laksus Pangkopkamtipda Jawa Barat, tertanggal 18 Januari 1974. Menurut catatan lain, selain terbitan-terbitan yang disebutkan diatas, ada dua media lain yang menjadi korban Malari, yaitu Suluh Berita dan Indonesia Pos. Dasar pertimbangan pembreidelan terhadap terbitan-terbitan tersebut adalah karena dinilai melanggar semangat dan jiwa TAP MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No: 11/1966 yang berujung pada rusaknya kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional.

Malari akhirnya menjadi ending bagi kebebasan pers di tanah air. Walaupun sebelumnya Orde Baru mulai menampakkan sikap kerasnya terhadap dunia pers, namun pasca kejadian berdarah itu, rezim tersebut mulai menjadikan pers sebagai alat pengontrol bagi stabilitas kekuasaan mereka. Mulai saat itu pers Indonesia mengalami masa suram yang akan terus terjadi hingga dasawarsa ke depan. Pada akhir bulan Januari 1978, Kopkamtib melarang terbit tujuh surat kabar harian Jakarta, yaitu Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Pos Sore, Indonesia Times, dan Sinar Pagi. Pihak keamanan mengambil tindakan pembreidelan tersebut karena diduga isi pemberitaan mereka mengandung unsur hasutan yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Akhirnya, bagi Soeharto, jiwa pers yang kritis merupakan sebuah hambatan serius yang perlu ia padamkan demi memperoleh kekuasaan yang terbebas dari kontrol independen (7).

CATATAN KAKI
1. Tim Redaksi, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2002) Hal. 176
2. Edward C. Smith, Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia, (Jakarta : Grafiti Pers, 1983) Hal. 5.
3. Lais Abit, Prabowo dan Togi Simanjuntak, Wartawan Terpasung : Intervensi Negara Di Tubuh PWI, (Jakarta : Institut Studi Arus Informasi, 1998) Hal. 42.
4. Yasuo Hanazaki, Pers Terjebak, (Jakarta : Institut Studi Arus Informasi, 1998) Hal. 17
5. Eyo Kahya, Perbandingan Sistem Dan Kemerdekaan Pers, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004) Hal. 120.
6. Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, (Jakarta : PT Intermasa, 1986) Hal. 20.
7. Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional Dan Pembangunan Pers Pancasila, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1988) Hal. 200.


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

SUPERSEMAR

Tuesday, 9 November 2010

Sejarah dan Dampaknya
Peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau yang biasa dikenal dengan sebutan Supersemar hingga kini masih menjadi masalah tersendiri di kalangan para sejarawan atau siapapun yang tertarik untuk melakukan studi mengenai surat perintah tersebut karena sejarah dan keberadaan naskah asli dari surat tersebut masih kontroversial. Salah satu hal yang menyebabkan Supersemar menjadi kontroversial adalah tidak adanya keterangan yang pasti dari para pelaku dan saksi sejarah yang terlibat dalam peristiwa lahirnya surat perintah tersebut. Padahal, Supersemar memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Penting sekali untuk mengkaji mengenai masalah Supersemar karena surat perintah tersebut telah menjadi suatu titik awal proses peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Letnan Jenderal Soeharto. Supersemar juga menjadi batu loncatan Soeharto dalam merebut kekuasaan dari Soekarno.

Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, Indonesia mengalami krisis di bidang politik, sosial dan ekonomi. Sekitar lima ratus ribu rakyat Indonesia yang dituduh sebagai anggota PKI tewas akibat pembantaian massal yang dilakukan oleh dua gabungan kekuatan, yaitu sipil dan militer. Pembantaian tersebut terjadi di Jawa Tengah dan meluas hingga ke Jawa Timur dan Bali. Peristiwa ini berlangsung pada pekan ketiga bulan Oktober hingga bulan Desember 1965. Rakyat yang menjadi korban tersebut dibunuh tanpa melalui proses pengadilan yang sah. Hal tersebut dikarenakan tuduhan angkatan darat yang menyebutkan bahwa PKI-lah dalang dari peristiwa G30S. Selain itu, pada Januari 1966 telah terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI, menurunkan harga dan membersihkan kabinet dari unsur-unsur G30S. Tuntutan rakyat tersebut dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Kembali kepada Supersemar. Peristiwa lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966, tepatnya di pagi hari, yaitu ketika Bung Karno sedang memimpin sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan di Istana Merdeka. Ketika Bung Karno sedang berbicara, Brigadir Jenderal M. Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, masuk ke ruang sidang, ingin memberitahu Brigadir Jenderal Amirmachmud, Pangdam V/ Jaya yang juga hadir dalam sidang itu, bahwa di luar sedang ada sejumlah pasukan tak dikenal dan ini menimbulkan kekhawatiran(1). Namun, Brigjen Sabur tidak berhasil menemui Brgjen Amirmachmud. Brigjen Sabur lalu menyampaikan sebuah nota kepada Bung Karno yang memberitahu perihal sejumlah pasukan tak dkenal yang berada di luar istana.
Setelah membaca nota yang disampaikan oleh Brigjen Sabur, Bung Karno menjadi gugup seketika dan segera bergegas meninggalkan Istana Merdeka bersama Dr. Soebandrio menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Sebelum pergi, pimpinan sidang diserahkan Bung Karno kepada Wakil Perdana Menteri II, Leimena.

Di lain tempat, Letnan Jenderal Soeharto yang tidak hadir dalam sidang tersebut karena sakit, kemudian mendengar berita tentang apa yang terjadi di Istana Merdeka pada hari itu. Soeharto yang merupakan satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang tersebut akhirnya mengutus Brigjen M. Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen Amirmachmud ke Istana Bogor untuk menemui Bung Karno.

Brigjen M. Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen Amirmachmud akhirnya berhasil menemui Bung Karno di Istana Bogor dan pertemuan tersebut ternyata melahirkan Supersemar dimana surat yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno tersebut berisi perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto. Beberapa perintah yang tertera di dalam surat tersebut diantaranya adalah supaya Letjen Soeharto mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa Presiden Soekarno yang juga berperan sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan Pemimpin Besar Revolusi. Selanjutnya, Letjen Soeharto juga diminta untuk melaporkan dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya dalam Supersemar.

Beberapa pertanyaan pun muncul sehubungan dengan lahirnya Supersemar. Pertama, apakah surat tersebut diketik oleh Soekarno dan ditandatangani secara sukarela? Atau apakah surat tersebut telah disiapkan oleh Soeharto dan selanjutnya Soekarno hanya tinggal menandatanganinya mengingat kop surat tersebut adalah kop surat Markas Besar Angkatan Darat? Kemudian, apakah surat dan salinan-salinan yang sempat beredar di kalangan elit politik dan militer saat itu tidak diubah-ubah isinya? Dan, dimanakah keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret? Seperti yang telah disebutkan di atas, pertanyaan ini tak pernah terjawab dengan pasti mengingat tidak ada atau tidak jelasnya keterangan dari para pihak yang terkait mengenai Supersemar.

Setelah keluarnya surat tersebut, Letnan Jenderal Soeharto langsung menggunakan Supersemar untuk membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang setia kepada Bung Karno, memulangkan beberapa pasukan Cakrabirawa yang setia kepada Bung Karno, mengawasi berita ekonomi dan politik yang disiarkan oleh RRI, TVRI, dan media lainnya(2). Tindakan yang dilakukan oleh Letjen Soeharto ini tidak begitu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Bung Karno.

Ternyata setelah keluarnya Supersemar, posisi Soekarno sebagai Presiden RI semakin tergerus akibat terjadinya dualisme kekuasaan di dalam tubuh pemerintahan RI dimana Soekarno sebagai Presiden dan Soeharto sebagai pelaksana segala tindakan pemerintah dengan bermodalkan Supersemar. Dalam dokumen Amerika Serikat yang dikutip oleh Baskara T. Wardaya dalam bukunya yang berjudul Membongkar Supersemar, disebutkan bahwa Supersemar adalah suatu kudeta khas Indonesia. Dalam bukunya tersebut, Baskara T. Wardaya menggunakan beberapa dokumen penting dari Amerika Serikat yang menunjukkan bagaimana sikap Amerika Serikat yang sangat aktif memantau kondisi politik Indonesia serta keterlibatan AS dalam perjalanan politik bangsa Indonesia saat itu.

Supersemar memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan kebijakan dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, posisi Letjen Soeharto semakin menguat dan posisi Presiden Soekarno semakin melemah akibat keluarnya Supersemar. PKI yang merupakan partai yang sangat dekat dengan Bung Karno akhirnya dibubarkan oleh Soeharto dalam waktu kurang dari 24 jam setelah Supersemar keluar. Soeharto juga melakukan penangkapan terhadap belasan menteri yang dianggap pro Bung Karno dan terlibat G30S. Rekayasa terhadap keanggataan MPRS juga dilakukan dan penetapan Supersemar sebagai Ketetapan MPRS.

Status Presiden Soekarno sebagai pesiden seumur hidup pun dicabut oleh MPRS karena pengaruh dari Soeharto. Tidak hanya itu, MPRS yang sudah diatur oleh Soeharto ini nantinya akhirnya berani menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Pidato Nawaksara) berikut perbaikannya, dan akhirnya memberhentikan Presiden Soekarno sebagai Presiden Indonesia(3).

Sementara itu, kebijakan luar negeri Indonesia juga berubah tajam setalah keluarnya Supersemar. Indonesia menjadi pro Barat. Hal tersebut terlihat dari menguatnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan normalisasi hubungan dengan Malaysia dimana sebelumnya Bung Karno menganggap Malaysia sebagai antek-antek dari Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Selain itu, Indonesia juga kembali bergabung bersama PBB. Semua hal tersebut sungguh bertentangan sekali dengan kebijakan pada masa pemerintahan Soekarno, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah lahirnya Supersemar yang kontroversial ternyata menimbulkan dampak yang sangat panjang terhadap perjalanan politik Indonesia. Supersemar yang hingga kini belum diketahui keberadaan naskah aslinya telah menjadi suatu senjata ampuh yang digunakan oleh Soeharto untuk menggerus kepemimpinan Soekarno dan berkat Supersemar, Soeharto berhasil menjadi Pejabat Presiden RI pada tahun 1967 dan Soeharto mulai mendirikan rezim Orde Baru. Lahirnya orde baru ini diiringi dengan perjuangan yang sengit untuk menata kembali seluruh tatanan kehidupan rakyat, bangsa, dan negara sesuai dengan kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945(4). Selanjutnya rezim Orde Baru pun mulai berkuasa sepenuhnya dibawah kendali Soeharto hingga tiga puluhan tahun lamanya.

Catatan Kaki
1. Baskara T. Wardaya, Membongkar Supersemar (Yogyakarta: Galang Press, 2007), p. 19.
2. Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah (Jakarta: Kompas, 2009), p. 124.
3. Baskara T. Wardaya, op.cit. p. 26.
4. Amirmachmud. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1987)

Sumber

Amirmachmud. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 1987
Adam, Asvi Warman. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas, 2009
Wardaya, Baskara T. Membongkar Supersemar. Yogyakarta: Galang Press, 2007



Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Orde Baru : Pengorbanan Demokrasi Bernegara Dalam Strategi Pembangunan Nasional

Thursday, 21 October 2010


Mulai tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Sejak hari itu, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto secara bertahap mulai membangun kekuatan tandingan.[1] Soeharto dengan sigap berhasil memulihkan situasi keamanan dengan mengambil langkah-langkah strategis. Dapat dikatakan ia adalah satu-satunya orang yang paling cepat membaca situasi peta politik pasca gerakan coup yang gagal itu. Pada tanggal 27 Oktober bertempat di guesthouse istana, di depan wakil-wakil partai politik, Presiden memperingatkan besarnya bahaya yang sedang dihadapi sambil memberikan pengertian bahwa reaksi yang diberikan sebagian masyarakat atas terjadinya G30S sudah berlebihan.[2] Walaupun belum ditemukan bukti yang cukup akurat, namun PKI sudah dituduh sebagai penanggung jawab utama G30S yang mengakibatkan kematian enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Akhirnya tuntutan terhadap Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI berikut organisasi massanya mulai marak dimana-mana.

Demo mahasiswa turun ke jalan secara besar-besaran dimulai pada 10 Januari 1966. Pada hari itu mahasiswa berkumpul di halaman FKUI.[3] Kemudian hadirlah Kolonel Sarwo Edie Wibowo, Komandan RPKAD, lalu ditemani oleh Mayor C.I. Santoso, salah satu komandan batalionnya yang terkenal dalam penumpasan G30S. Saat itu mahasiswa mulai menyampaikan tuntutannya yang dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), ketiga tuntutan itu antara lain : bubarkan PKI, turunkan harga-harga, dan berhentikan Kabinet Dwikora. Dalam setiap demo, terkadang terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan pemuda PNI pimpinan Ali Surachman, pendukung Bung Karno, yang melancarkan demo tandingan terhadap KAMI. Selain terjadi demo besar-besaran di setiap kota, diwaktu yang bersamaan juga mulai terjadi pembantaian massal simpatisan PKI di berbagai daerah terutama di Jawa Timur dan Bali. Korban atas pembantaian banyak dari golongan pekerja, semisal, guru yang secara intensif mempengaruhi generasi muda agar mendukung perjuangan PKI.[4]
Akibat peristiwa G30S dan rentetan dinamika politik sesudahnya, termasuk demonstrasi oleh mahasiswa, Presiden Soekarno secara perlahan mulai kehilangan kekuasaannya. Perannya sebagai kepala negara semakin terenggut lagi ketika mengeluarkan Supersemar pada 11 Maret 1966, yang artinya secara tidak langsung menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto sebagai pengemban surat tersebut. Sepak terjang Soeharto semakin tidak terbendung, meskipun Presiden Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah surat penyerahan kekuasaan, namun Soeharto terus menggunakannya seolah-olah surat itu adalah surat penyerahan kekuasaan. Penyerahan pemerintahan kepada Soeharto baru terlaksana pada 22 Februari 1967. Dituntaskan melalui sidang istimewa Maret tahun yang sama, MPRS mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Titel penuh Soeharto sebagai Presiden baru secara pasti diberikan setahun kemudian lewat suatu keputusan MPRS pada 27 Maret 1968.[5] Soeharto melakukan kebijakan politik pertamanya dengan pencopotan para pejabat pemerintah yang dianggap sebagai antek atau kroni Soekarno. Banyak yang mengistilahkan kebijakan politik tersebut sebagai De-soekarnoisasi.
Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan politik.[6] Prioritas pertama Soeharto adalah menegakkan kekuasaan atas seluruh wilayah negara dan meyakinkan Barat untuk memulai pengaliran bantuan keuangan dan investasi untuk menyelamatkan ekonomi yang mengalami kemerosotan tajam.[7] Rehabilitasi ekonomi menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan Orde Baru demi terpeliharanya dukungan rakyat yang menjadi legitimasi kekuasaannya.[8] Soeharto membuang gagasan “politik sebagai panglima” warisan Soekarno dan merubahnya dengan gagasan “ekonomi sebagai panglima. Lembaga eksekutif selalu memegang peranan pokok dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan peranan legislatif akhirnya kurang begitu penting. Dengan batas-batas tertentu, akhirnya Soeharto dapat menjaga kelangsungan peranannya di bawah simbol-simbol pembangunan yang segera akan ia proses.
Kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soeharto setelah resmi dilantik sebagai Presiden RI kedua dinamakan “Kabinet Pembangunan”. Kabinet ini dibentuk pada 6 Juni 1968.[9] Saat itu Soeharto berkeyakinan, “Kabinet Pembangunan I yang merupakan kombinasi antara tenaga-tenaga ahli dari lingkungan universitas dan ABRI, mengawali era baru kehidupan bangsa Indonesia”.[10] Soeharto memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama dalam setiap kebijakan yang ia jalankan. Pada 15 Juni kemudian diangkatlah beberapa orang teknokrat ekonom terkemuka sebagai tim ahli ekonomi presiden. Mereka ini umumnya merupakan staf pengajar senior di Fakultas Ekonomi UI yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Widjojo termasuk dalam generasi mainsteam atau kelompok arus utama yang berafiliasi dengan Bank Dunia. Kerja sama erat antara Bank Dunia dan para pejabat Indonesia ini merupakan bagian dari “hubungan khusus” bank tersebut dengan Indonesia. Sebagai contoh lain, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak perlu menandatangani surat pernyataan (letter conditionality) resmi, untuk mendapatkan pinjaman Bank Dunia.[11]
Pemerintahan Orde baru pimpinan Soeharto juga menciptakan paradigma baru dalam sektor ekonomi yang sebagian besar merupakan antitesis dari paradigma Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional dengan memperoleh dukungan negara Barat. Pragmatisme disini didefinisikan sebagai tindakan politik yang menitikberatkan pada azas manfaat tanpa terpengaruh oleh ideologi tertentu (mendasar). Pragmatisme ekonomi ditunjukkan lewat penerapan kebijakan makro ekonomi khas barat (neo-liberal) yang menjadi rujukan bagi strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh Soeharto adalah strategi pembagunan yang berlandaskan pada pemikiran neoklasik kuno yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama. Dalam paradigma ini diyakini bahwa pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah, baik dengan sendirinya atau melalui campur tangan pemerintah.[12]
Tahun 1969 bisa dikatakan sebagai masa akhir transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Inflasi akhirnya benar-benar dapat dikendalikan.[13] Tak dapat disangkal bahwa salah satu pilar keberhasilan rezim ini adalah interaksi mereka dengan sistem ekonomi internasional yang kapitalistik. Selanjutnya Orde Baru mulai memfokuskan perhatian utamanya dari stabilisasi ekonomi menuju pembangunan dengan menetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I), untuk tahun 1969-1974. Di tahun yang sama, Orde Baru juga telah mampu menyelesaikan masalah lama dengan bergabungnya Irian sebagai provinsi ke-26 RI. Bergabungnya Irian ke pangkuan Indonesia amat direspon positif oleh pihak Barat terutama Amerika yang telah bersiap untuk mengeksploitasi SDA di wilayah itu. Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemerintahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer.
Stabilitas ekonomi yang telah diperoleh Orde Baru selanjutnya mulai melahirkan demokrasi dengan gaya otoriterianisme. Semua hal seolah dituntut ke dalam ide pembagunan ekonomi. Stabilitas politik diprioritaskan pada awal Orde Baru karena pengalaman ketidakstabilan sistem politik demokrasi liberal pada kurun waktu 1945-1959, bahkan juga dalam periode demokrasi terpimpin 1959-1966.[14] Sistem politik di bawah Orde baru secara tegas diterapkan dalam konsep integralisme total. Hasilnya Soeharto tidak menginginkan adanya tempat bagi oposisi gaya Barat di alam demokrasi Pancasila. Menjelang Pemilihan Umum 1971 sangat terlihat bahwa Soeharto ingin menjadikan Golkar sebagai pemenang dalam ajang tersebut. Hal ini jelas terlihat ketika persiapan menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum, banyak dari pegawai pemerintah yang diarahkan untuk mendukung dan memenangkan Golkar di daerah pemilihan mereka. Golkar yang pada saat itu tidak ingin disebut sebagai partai politik akhirnya memperoleh kemenangan besar yaitu 63,8 % suara pemilih.
Orde Baru kemudian menjadi rezim yang sungguh sentralistik, terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas ekonomi dan politik. Secara perlahan Soeharto mulai memasung hak-hak politik rakyatnya dengan ketat. Orde Baru juga mengisolasi masyarakat melalui perundang-undangan dan keputusan yang memungkinkan pembatasan bagi kegiatan organisasi massa. Soeharto amat gigih untuk menciptakan sistem politik terbaru demi mengatasi keragaman pandangan yang memecah belah iklim politik di tanah air. Dengan tegas, Soeharto menolak ide mengenai persaingan ideologi, baginya model politik yang demikian tidak cocok untuk Indonesia. Di lain pihak, masyarakat semakin hari semakin terasingkan dari lingkaran kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Media massa sebagai wadah kekuatan informasi yang strategis pun dikebiri oleh pemerintah dan diposisikan menjadi kolaborator struktural bagi negara. Bagi beberapa pengkritik, seperti Goenawan Mohamad, “Kita membutuhkan suatu pemerintah pembangunan yang kuat, tapi tak boleh dilupakan, bahwa kekuatan itu juga harus ditunjukan oleh penguasa sendiri, antara lain dengan bersikap tenang menanggapi kritik”.[15]
Munculnya Angkatan Darat ke posisi dominan yang tak tertandingi dalam pemerintahan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak terhindirkan.[16] Sebagaimana diketahui, dalam doktrin TRI UBAYA GAKTI hasil seminar TNI-AD I, untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin Dwifungsi ABRI.[17] Bagaimana ABRI memandang peran politisnya bisa diperoleh dari penafsiran militer atas Pancasila sebagai ideologi “integralistik”. Para perwira senior menyatakan bahwa karena budaya Indonesia itu “integralistik”, maka peran sosiopolitis ABRI yang permanen bisa dibenarkan.[18] Selanjutnya Soeharto sangat selektif dalam memelih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “elite militer”, muncul nama-nama seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardani, Soedomo, Sutopo Juwono, dan Soemitro dalam jajaran pemerintahan elite negeri ini. Tak jarang terjadi konflik dalam tubuh pemerintahan Soeharto akibat penumpukan para petinggi militer yang ia ciptakan sendiri.
Persaingan faksi militer di dalam pemerintahan terbawa sampai ke urusan publik, terutama mengenai penanaman modal Jepang di Indonesia. Jepang mengambil 53% ekspor Indonesia pada tahun 1973 (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok lebih dari 29% impor Indonesia. Di samping itu, Jepang lebih menonjol karena investasi mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi para pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia, dibantu oleh orang yang dekat dengan istana kepresidenan. Kritik dilontarkan terutama kepada Ali Moertopo dan salah satu kolega terdekat Soeharto lainnya yaitu Mayjen. Sudjono Humardani. Keduanya dianggap sebagai penasihat kebijakan Presiden dan juga perantara bagi para investor asing (terutama Jepang) yang mencari kebaikan hati pemerintah.
Kedatangan PM Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada Januari 1974 dijadikan momentum bagi para Mahasiswa untuk demonstrasi menolak masuknya modal asing. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan Mahasiswa tidak berhasil menorobos masuk pangkalan udara tersebut.[19] Hal tersebut menimbulkan kemarahan para Mahasiswa dan puncaknya menimbulkan kerusuhan serta huru – hara di Jakarta. Bagi Soeharto kerusuhan Malari telah mecoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan tamu Negara, PM Jepang.[20] Banyak opini yang berkembang bahwa peristiwa kerusuhan tersebut hanyalah persaingan faksi ditubuh elite militer. Rivalitas utama terjadi antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Presiden Soeharto sendiri pada saat itu lebih cenderung merapat kepada kubu Ali Moertopo sang anak emasnya. Hal ini terbukti dengan pencopotan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan didepaknya Sutopo Juwono dari kepala Bakin.
Rasa tidak puas masyarakat terhadap rezim Orde Baru mulai merebak di pertengahan tahun 1970-an. Kritik yang muncul ketika itu mengenai kebijakan pembangunan yang menurut mereka terlampau kapitalistik dan hanya pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan. Demokrasi dalam kehidupan bernegara juga ditekan oleh pemerintah yang cenderung semakin otoriter. Pers dan media massa dibatasi perannya lewat kebijakan pembreidelan. Masyarakat ditakuti-takuti oleh aparat keamanan terutama militer yang telah menguasai seluruh kehidupan sipil, lalu teror yang sering dilakukan terhadap kaum intelektual di berbagai kampus.
Selanjutnya semua hal ini mejadi sebuah sikap status quo yang amat dinikmati oleh Soeharto beserta pembantu-pembantunya dalam tahapan menuju kekuasaan yang terus mereka pegang selama puluhan tahun berikutnya.

Catatan Kaki

[1] James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap Di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S Dari Perspektif Lain, (Jakarta: Kompas, 2006) Hal. 177.

[2] H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, (Jakarta: Visimedia, 2008) Hal. 234.

[3] Firman Lubis, Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahsiswa, (Jakarta: Masup Jakarta, 2008) Hal. 242.

[4] Tim Redaksi, 10 Kisah Genocide, (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008) Hal. 95.

[5] John D. Legge, Sukarno: Biografi Politik, (Jakarta : Sinar Harapan, 2001) Hal. 466.

[6] Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000) Hal. 20.

[7] David Bourchier dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Sosial Dan Politik Indonesia : Periode 1965-1999, (Jakarta: Grafiti, 2006) Hal. 38.

[8] Denny B.C. Hariandja, Birokrasi Nan Pongah: Belajar Dari Kegagalan Orde Baru, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999) Hal. 67.

[9] Firman Lubis, Jakarta 1970-an: Kenangan Sebagai Dosen, (Jakarta : Ruas, 2010) Hal. 21.

[10] G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, Dan Tindakan Saya, (Jakarta :PT Citra Lamtoro Gung Persada) Hal. 238.

[11] Jeffrey A. Winters, Dosa-Dosa Politik Orde Baru, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 15.

[12] Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan, (Jakarta : Cides, 1996) Hal. 50.

[13] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005) Hal. 582.

[14] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 2000) Hal. 22.

[15] “Melayani, Dengan Kritik”, Tempo, 29 Januari 1972.

[16] Harold Crouch, Militer Dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999) Hal. 276.

[17] Soebijono dan A.S.S. Tambunan, Dwifungsi ABRI: Perkembangan Dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997) Hal. 35.

[18] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam Dan Ideologi Toleransi, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002) Hal. 225.

[19] Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007). Hal. 81.

[20] Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, (Yogyakarta: Kompas, 2009). Hal. 127.

Rudi Hermanto, Pendidikan Sejarah 2006


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Pidato SBY, Horatio Nelson & A.W.S Mallaby

Thursday, 2 September 2010

Kecewa, itulah barangkali yang dirasakan oleh rakyat Indonesia seusai menyaksikan Pidato presiden SBY Rabu 01 September 2010 Pkl. 21.00 WIB di Mabes TNI Cilangkap. Betapa tidak isi pidato presiden yang isinya kurang lebih masih bersikap lembut terhadap sikap Malaysia yang telah jelas menginjak-injak kedaulatan bumi pertiwi. Dengan alasan serumpun dan latar belakang historis yang kuat diantara kedua negara pidato presiden kurang memberikan sinyal yang keras terhadap Malaysia. Mengapa tidak berperang saja, kata kata tersebut mungkin ada disebagian besar benak rakyat yang menyaksikan pidato tersebut dan jika para Founding Fathers bangsa ini ada yang masih hidup mungkin mereka langsung mendaftar menjadi sukarelawan Ganyang Malaysia.

Malaysia boleh berbangga dengan kekuatan ALUTSISTA yang canggih, anggran militer sebesar US$ 1.69 Triliun dan pakta pertahanan FPDA (Five Power Defence Arrangements) yang terdiri dari negara Inggris, Singapura, Australia, Selandia baru dan Malaysia.

Namun harus diingat dalam peperangan faktor Moral merupakan hal yang terpenting didalam peperangan. Sejarah telah membuktikan, angkatan laut Italia yang merupakan angkatan laut termodern pada PD II (P.K Ojong “ Perang Eropa” kompas 2004) dipecundangi oleh Sekutu yang mempunyai Moral bertempur yang kuat.

Dalam konteks yang berbeda antara kasus Indonesia & Malaysia barangkali jika kita melihat kebelakang pada awal abad ke 19 ada ambisi Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte untuk menaklukan seluruh Eropa dan Afrika dan menjadikan laut tengah sebagai danau imperium Perancis. Dalam pertempuran di Trafalgar Admiral Inggris, Horatio Nelson berhasil mengomandoi 27 kapal Inggris untuk memukul mundur 33 kapal gabungan Perancis & Spanyol di Trafalgar, alhasil 18 kapal Perancis karam dan sisanya melarikan diri ke Cadiz. Walaupun kemenangan Inggris ini harus ditebus mahal oleh gugurnya Admiral Nelson yang sedang memberi semangat kepada pasukannya karena tertembus peluru oleh sniper di kapal Perancis asal Tyrol. Itulah gambaran mengenai Inggris dengan seorang Admiral briliannya yang berani melawan Perancis yang jumlah armadanya lebih besar tanpa gentar sedikitpun melawan Perancis yang pada saat itu menjadi negara berkekuatan militer besar dan pasukan elit yang handal Imperial Armee Grandee.

Lalu bagaimana kisah Jendral Inggris di Indonesia ? ada suatu peristiwa yakni tentunya pasti kita ingat sebagai seorang warga negara yang baik yakni pertempuran 10 November. Kedatangan tentara sekutu pasca kemenangan mereka dalam perang dunia II yang memboncengi Belanda dengan sebuah aliansi yang bernama AFNEI. Untuk memuluskan tujuan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia menghasilkan kematian Brigjen A.W.S Mallaby ditangan para arek – arek Suroboyo.

Bagaimana para pendahulu kita bisa menewaskan seorang Jendral bintang satu tersebut merupakan suatu yang bisa dikatakan prestasi tersendiri yang dilakukan oleh pendahulu kita. Betapa tidak, Inggris baru kehilangan Jendral setelah 5 tahun perang dunia II. dalam kuliah saya bersama seorang sejarawan Dr. Anhar Gonggong beliau menyatakan bahwa Pemuda Indonesia berangkat menuju Surabaya untuk melakukan pertempuran dengan hanya bermodalkan bambu runcing yang dibacakan jampi – jampi oleh para kyai (Saifudin Zuhri “Berangkat dari Pesantren” Gunung Agung 1987). Bukan berati Jendral A.W.S Mallaby tewas dengan sebilah bambu runcing, disamping para pemuda Indonesia yang notabene merupakan bukan tentara professional bertempur menggunakan bambu runcing & Celurit para pemuda tersebut juga menggunakan senjata hasil rampasan dalam pertempuran selama 3 hari tersebut yang berakhir dengan terkibarnya bendera putih tentara Inggris.

Itulah sebuah gambaran bagaimana para pendahulu kita berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan & Kedaulatan negeri ini, seharusnya Presiden yang berlatar belakang militer tak segan - segan menyatakan perang terhadap Malaysia ketimbang harus selalu bersikap lembut dan menunggu diinjak-injak lagi. Apakah hanya karena investasi Malaysia yang hanya US$ 1 Milyar & TKI yang selalu dielu-elukan sebagai pahlawan devisa yang berjumlah 2 juta presiden selalu bersikap lembut. Semestinya pula presiden harus bersikap kongkret terhadap tindakan Malaysia daripada mengajukan nota protes yang tidak pernah digubris oleh pemerintahan Malaysia.

Belajar dari kisah heroik Admiral Horatio Nelson dengan semboyan Angkatan Laut Inggris “British Rule The Waves” dan prestasi yang dilakukan oleh para pendahulu kita dengan menewaskan Brigjen Mallaby sudah selayaknya Jalasveva Jayamahe tidak sekedar menjadi Jargon.

Referensi
Referensi


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Kopassus Untuk Indonesia

Tuesday, 31 August 2010


Judul Buku : KOPASSUS UNTUK INDONESIA
Penulis : Iwan Santosa & E.A Natanegara
Penerbit : Red & White Publishing House
Tebal : 343 Halaman
Tahun Terbit : 2009


Kopassus merupakan salah satu unit dari TNI yang terkenal di diantara tentara – tentara di dunia karena keberhasilannya dalam membebaskan pesawat DC 9 dalam 5 menit dari pembajakan pesawat yang marak pada dekade 80-an di bandara Don Muang, Thailand. Berkat keberhasilan operasi anti teror tersebut maka dibentuklah Detasemen 81 Anti Teror pada 30 Juni 1982.

Didalam buku ini tidak hanya diceritakan mengenai operasi – operasi Kopassus saja tetapi didalam buku ini juga diceritakan mengenai sejarah singkat berupa timeline dari Regiment Speciale Troepen di tahun 1946 hingga terbentuknya Kopassus. Pola latihan kopasus sangat ekstrim membuat para anggota Kopassus memiliki ketahanan fisik dan mental yang melampaui manusia pada umumnya bahkan pola latihan menembak kopassus yang menggunakan peluru sungguhan (bukan peluru karet) dikritik oleh para pelatih pasukan khusus dari negara lain karena dianggap terlalu berutal.

Banyak sekali operasi – operasi kopassus di daerah daerah konflik di Indonesia. Contohnya konflik di Aceh. Seorang perwira Kopassus yang ditugaskan dalam operasi Intelejen Kopassus di Aceh berhasil menyelinap hingga ke markas GAM walaupun seorang perwira kopassus tersebut harus menyamar menjadi seorang pedagang durian selama berbulan-bulan.

Adalagi kisah seorang perwira Kopassus yang ditugaskan di daerah konflik SARA di Ambon. Perwira kopassus tersebut menghadapi liarnya para warga – warga yang memegang senjata dan menembaknya secara membabi buta, selain itu perwira itu harus juga dikejar-kejar oleh warga di tanah kelahirannya sendiri karena berusaha melerai konflik SARA di daerah tersebut.

Dalam bencana alam, kopassus juga ditugaskan secepat kilat dalam menangani daerah-daerah yang terkena dampak serius, misalkan daerah Meulaboh di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terkena dampak paling parah akibat terjangan tsunami, gempa bumi di Yogyakarta, dan banjir yang melanda Ibukota.

Dengan bahasa yang enak dibaca dan mudah dipahami menjadikan buku “Kopassus Untuk Indoesia ini layak untuk dibaca.


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......

Tragedi Woyla

Wednesday, 21 July 2010


Pembajakan Pesawat Garuda DC 9, Pembajakan Pesawat Pertama di Indonesia

Pada tanggal 28 Maret 1981, lima orang teroris, yaitu Zulfikar, Mahrizal, Wemdy, Abdullah Mulyono, Ali Yusuf dan Ma'ruf yang mengaku sebagai kelompok Islam ekstermis “Komando Jihad” telah melakukan pembajakan di dalam pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla yang berisi 48 orang penumpang. Pesawat tersebut terbang dari Jakarta pada pukul 08.00 WIB, lalu transit ke Palembang, dan akan terbang lagi ke Medan dengan perkiraan waktu tiba, yaitu 10.55 WIB.

Pembajakan mulai terjadi ketika pesawat yang dikemudikan oleh Kapten Herman Rante baru saja terbang dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang setelah transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan. Setelah lepas landas, dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata. Satu lagi berdiri di jalan antara tempat-duduk pesawat. Pada pukul 10.10, para pembajak yang memegang senjata api berhasil menguasai pesawat tersebut. Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka, tetapi pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar pesawat, dan kemudian pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar dan terbang lagi ke Thailand atas paksaan teroris dan penerimaaan pemerintah Thailand untuk mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Para pembajak menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, segera dibebaskan. Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Setelah peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam hukuman mati. Selain itu, para pembajak juga menuntut uang sebesar US$ 1,5 Juta dan sebuah pesawat untuk pembebasan tahanan serta untuk terbang ke suatu tempat yang dirahasiakan. Mereka juga mengancam bahwa pesawat tersebut telah dipasangi bom dan tidak segan-segan untuk meledakkannya.
Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206 (Woyla) yang berbunyi “..being hijacked, being hijacked”. Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta, berita yang mengejutkan petugas keamanan karena pada saat bersamaan juga diadakan latihan gabungan yang melibatkan semua unsur pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera. Berita tersebut diterima Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo yang masih berada di Jakarta. Sudomo langsung meneruskan berita tersebut kepada Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani pun langsung menghubungi Asrama Kopasandha (Sekarang Kopassus) dan diterima oleh Asisten Operasi Kopasandha Letkol Infanteri Sintong Panjaitan. Benny memberitahu tentang dibajaknya pesawat Garuda DC-9 yang masih belum jelas berapa pembajaknya, apa motif pembajakannya dan kemana tujuan pesawat tersebut.
Sementara itu, di Jakarta pada pukul 19.25, Kepala Bakin (sekarang BIN), Jenderal Yoga Sugomo berangkat ke Bangkok. Ia mendapat berita bahwa pembajak pesawat tersebut berjumlah lima orang. Mereka semua bisa berbicara Indonesia, memegang senjata api, granat, dan mungkin dinamit. Mereka menuntut dibebaskannya tahanan atas kasus peristiwa Cicendo yang dilakukan oleh komplotan Warman beserta Komando Jihad. Para tahanan diminta untuk diterbangkan keluar Indonesia dan tempatnya dirahasiakan serta dengan diberikan uang sebesar 1, 5 juta dolar AS. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka lima orang pembajak tersebut akan meledakan pesawat beserta seluruh penumpangnya.
Sabtu, sekitar jam sepuluh malam, Kolonel Teddy Rusdi, Benny Moerdani dan Sudomo berhasil menemui Presiden Soeharto di Cendana. Mereka membicarakan langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi masalah pembajakan tersebut. Kesimpulannya, pembajakan tersebut akan diselesaikan dengan melancarkan sebuah operasi militer dimana penanggung jawab operasi ini adalah Benny Moerdani.
Pada minggu malam, pemerintah Thailand memberikan izin bahwa pasukan anti terror Indonesia boleh mendarat Indonesia. Meskipun sebelumnya pemerintah Thailand bersikeras agar pasukan mereka yang mengatasi pembajakan tersebut. Para pasukan yang ditugaskan untuk melakukan operasi militer yang bertujuan membebaskan pesawat yang dibajak, terbang ke Thailand dengan menggunakan pesawat DC-10 dengan berkamuflase menjadi pesawat yang baru terbang dari Eropa. Benny memerintahkan agar serangan dimulai sebelum fajar. Ia juga meminta agar petugas Garuda di Don Muang menyiapkan 17 peti mati.
Pada pukul 02.45, serangan dimulai. Pintu didobrak oleh pasukan Kopasandha dan mereka pun langsung melepaskan tembakan ke arah para pembajak pesawat tersebut. Dengan serangan mendadak tersebut, akhirnya pesawat berhasil dikuasai oleh Kopasandha pada Selasa dini hari tanggal 31 Maret 1981.
Dalam operasi militer yang singkat tersebut, seluruh teroris berhasil ditembak. Tiga diantaranya langsung tewas dan dua sisanya terluka parah. Namun, Kapten Herman Rante, pilot pesawat DC 9 dan Achmad Kirang, anggota Kopasandha terluka parah akibat terkena tembakan para teroris. Satu hal yang cukup melegakan adalah bahwa tidak ada satu pun penumpang yang tewas.
Begitu pesawat berhasil dikuasai, Benny langsung menyambar mike dan langsung mengatakan kepada Jenderal Yoga Sugomo (Kepala BAKIN saat itu) bahwa pesawat telah berhasil dikuasai. Namun, Jenderal Yoga merasa kaget karena ia tidak mengira bahwa pesawat akan berhasil dikuasai secepat itu.
Pesawat Garuda DC 10 Sumatera yang mengangkut para pasukan anti teror Kopasandha meninggalkan bandara Don Muang, Thailand pada hari Selasa pukul 05.00 pagi. Dua pembajak yang luka parah dan sempat mengalami perawatan tim medis dari Kopasandha tidak berhasil diselamatkan dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian kelima jenazah teroris tersebut ikut diterbangkan ke Jakarta pada pagi hari itu juga. Sementara itu, Achmad Kirang meninggal dunia di rumah sakit Bhumibhol, Bangkok. Lalu, enam hari setelah operasi pembebasan pesawat Woyla tersebut, Kapten Herman Rante juga meninggal dunia di Bangkok. Sekitar pukul 08.00 pagi, pesawat Garuda DC 10 Sumatera akhirnya tiba di Jakarta. Keberhasilan pasukan Kopasandha dalam mengatasi pembajakan tersebut sudah tersiar lewat siaran radio di Indonesia. Pasukan Kopasandha yang berhasil melakukan operasi pembebasan pesawat Woyla tersebut, telah menjadi embrio pasukan anti terror Kopassus yang dikenal dengan nama Sat 81 Gultor. Menurut salah satu anggota Kopasandha yang ikut dalam operasi pembebasan tersebut, kunci keberhasilan dari operasi tersebut adalah serangan dengan cara tiba-tiba. Menurutnya, negosiasi dengan para pembajak adalah nomor dua.
Itulah sepenggalan kisah pembajakan dan operasi pembebasan pesawat Garuda DC 9. Pembajakan tersebut merupakan yang pertama terjadi di Indonesia dan para pasukan anti terror Kopasandha boleh berbangga diri karena operasi pembebasan tersebut berhasil dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sangat cepat sekali, yakni hanya dalam hitungan menit.
Sementara itu, Imran Muhammad bin Zein yang dianggap sebagai otak dari peristiwa Cicendo dan pembajakan tersebut akhirnya diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dijatuhi hukuman mati dengan tuntutan atas tindakan subversinya.

Sumber:
Pour, Julius. Benny: Tragedi seorang loyalis. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. 2007
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/12/07/LN/mbm.19851207.LN37774.id.html


Share/Bookmark Baca Selengkapnya......