Thursday, 8 April 2010
Foto tersebut merupakan foto dari Douwes Dekker, salah satu pahlawan nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu bagaimana menghargai jasa para pahlawannya. Namun, tampaknya pepatah itu tidak berlaku di Indonesia. Para pejuang, janda hingga anak mereka justru terpinggirkan. Salah satunya adalah putra dari Douwes Dekker.
Lelaki 65 tahun yang terbaring lemah di ICU Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, Jakarta Pusat, ini bernama Koesworo Setiabudi. Dia anak terakhir Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Dokter Setiabudi. Pria tua ini terbaring lemah setelah menjalani operasi kanker usus yang telah lama dideritanya. Kini kondisinya terus stabil. Rencananya, ia akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Yang menyedihkan, Koesworo terpaksa mengajukan surat keterangan miskin karena keterbatasan biaya. Lelaki yang fasih berbahasa Jawa dan Sunda ini mengaku, meski sang ayah adalah salah satu dari tiga serangkai, namun tak pernah sekalipun pemerintah mengapresiasi jasa sang ayah. Hanya seonggok surat dan piagam yang menyatakan bahwa nama sang ayah termasuk dalam daftar perintis kemerdekaan serta Bintang Mahaputra.
Sejak tahun 1950 atau sejak meninggalnya sang ayah, tidak ada tunjangan ataupun bentuk penghargaan lain sebagai ganti perjuangan sang ayah memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
Semua perawatan telah diterima oleh Koesworo. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara membayar tagihan rumah sakit. Koesworo mengaku tidak pernah menerima royalti atas buku-buku ayahnya yang diterbitkan kembali.
Ini adalah potret kecil sebuah bangsa yang hanya menghargai nilai, bukan warisannya. Jika para pahlawan ini tahu di masa depan, anak cucu mereka akan ditelantarkan pemerintah apakah mereka akan tetap berjuang demi Tanah Air ini.(DOR)
Lelaki 65 tahun yang terbaring lemah di ICU Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, Jakarta Pusat, ini bernama Koesworo Setiabudi. Dia anak terakhir Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Dokter Setiabudi. Pria tua ini terbaring lemah setelah menjalani operasi kanker usus yang telah lama dideritanya. Kini kondisinya terus stabil. Rencananya, ia akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Yang menyedihkan, Koesworo terpaksa mengajukan surat keterangan miskin karena keterbatasan biaya. Lelaki yang fasih berbahasa Jawa dan Sunda ini mengaku, meski sang ayah adalah salah satu dari tiga serangkai, namun tak pernah sekalipun pemerintah mengapresiasi jasa sang ayah. Hanya seonggok surat dan piagam yang menyatakan bahwa nama sang ayah termasuk dalam daftar perintis kemerdekaan serta Bintang Mahaputra.
Sejak tahun 1950 atau sejak meninggalnya sang ayah, tidak ada tunjangan ataupun bentuk penghargaan lain sebagai ganti perjuangan sang ayah memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
Semua perawatan telah diterima oleh Koesworo. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara membayar tagihan rumah sakit. Koesworo mengaku tidak pernah menerima royalti atas buku-buku ayahnya yang diterbitkan kembali.
Ini adalah potret kecil sebuah bangsa yang hanya menghargai nilai, bukan warisannya. Jika para pahlawan ini tahu di masa depan, anak cucu mereka akan ditelantarkan pemerintah apakah mereka akan tetap berjuang demi Tanah Air ini.(DOR)
Sumber: MetroTVnews.com
Achmad Seftian (Pend Sejarah 08)
0 comments:
Post a Comment