JIWA YANG HILANG DALAM SEJARAH

Share

Wednesday 14 April 2010

“Jiwa-jiwa kepemimpinan dalam tiap generasi muda tumbuh dari organisasi”
(Soekarno)
Jika dikatakan kepemimpinan, maka itu mencakup semua lapisan baik pemerintah, mahasiswa maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pergerakan lainnya. Dalam bahasan kali ini tidak akan disoroti kepemimpinan politik pemerintahan ataupun ormas-ormas, tetapi akan lebih banyak memfokuskan pada krisis kepemimpinan pemuda khususnya mahasiswa di Indonesia. Bahasan ini merupakan refleksi pemikiran penulis mengenai realitas kepemimpinan mahasiswa pasca reformasi sehingga meskipun objektifitas sudah diupayakan secara maksimal, mungkin masih ada beberapa pemikiran yang terasa subjektif.

Pemuda adalah penghubung kenyataan sejarah, melalui berbagai perjuangan yang di kawal pemuda dulu telah membawa perubahan. Presiden sukarno adalah salah satu dari banyaknya pemuda Indonesia yang membawa perubahan bagi Indonesia yang hingga hari ini nama, semangat, hingga ideologi-nya masih hidup bahkan menjadi simbol perjuangan bagi pemuda-pemudi Indonesia yang masih punya rasa “memiliki” terhadap bangsa untuk mengusung kesatuan. Karena pemuda idealnya memang harus meneruskan perjuangan bangsa Indonesia ini yang semakin bobrok.
Namun apa yang terjadi dengan pemuda Indonesia hari ini? Sebagian dari Mereka jiwa kepemimpinan bahkan jiwa pemuda-nya telah hilang. Atau sebaliknya jiwa mahasiswa atau pemuda yang idealis tetapi menipu!! Apa yang menjadi penyebabnya? Inilah kenyataan sosial yang tidak lepas dari masalah pemuda sebagai generasi bangsa ini. Fenomena krisis kepemimpinan tengah hangat di bicarakan sebagian mahasiswa yang masih memiliki jiwa organisasi (terlepas apapun organisasi itu).
Banyak faktor yang bisa di ambil untuk menjawabnya, tetapi berdasarkan pendekatan empirik yang saya lakukan kurang lebih setahun di organisasi-organisasi yang berada di UNJ. Pertama yaitu, fenomena krisis kepemimpinan ini merupakan kumulasi dari budaya instan & hedonis (dengan produk kapitalis) yang memang telah masuk kedalam sendi-sendi kekuatan mahasiswa

“maka mahasiswa terseret bersama jiwa yang telah hilang karena di puaskan dengan produk-produk kapitalisme”
Kedua, mahasiswa yang terjebak dalam penjara paradigma bahwa kuliah sebagai kunci pembentukan kesuksesan hidup, Atau istilah saat ini adalah study oriented only. Sehingga membuat mahasiswa memilih untuk apatis terhadap organisasi. Maka pembentukan jiwa-jiwa kepemimpinan dalam diri mahasiswa tidak tercipta dan Ini lah kunci dari terjadinya krisis kepemimpinan di tengah mahasiswa. Karena telah kita ketahui bahwa organisasi adalah mediasi terbesar dalam pembentukan jiwa kepemimpinan dan kepemimpinan merupakan resistensi generasi muda (Marxian), sedangkan kuliah hanyalah sebatas membentuk aspek kognitif saja.
Fenomena ini cukup wajar terjadi di dunia kemahasiswaan. Warna-warni ragam karakter pemuda seperti itupun sudah tak aneh lagi bagi sebagian besar mahasiswa. Secara objektif, karakter-karakter tersebut sebenarnya adalah sebuah kecenderungan. Study oriented bukanlah sikap yang buruk karena memang mahasiswa masih memiliki kewajiban dalam bidang akademik, asal jangan study oriented only. Seorang aktivis yang terkenal dengan kesibukan dan jam terbangnya yang tinggi pun bukan pilihan yang kurang baik karena kehidupan tanpa sosialisasi dan organisasi akan terasa sepi.
Kecenderungan adalah sebuah pilihan kemana kita akan lebih fokus. Hanya saja yang menjadi masalahnya yaitu kecenderungan yang memunculkan apatisme dan ketidakpedulian mahasiswa terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Apatisme itulah yang saat ini banyak terjadi. Mahasiswa lupa dengan tugasnya sebagai agen perubahan. Sebagian besar justru memiliki persepsi yang salah terhadap kata-kata agent of change ini. Peran ini berhubungan dengan posisi mahasiswa yang berada di tengah-tengah antara masyarakat umum dengan pemerintah, pengusaha, akademisi dan profesional lainnya. Mahasiswa adalah jembatan antara kedua pihak tersebut.
Alternatif kepemimpinan untuk temukan jiwa yang hilang
Krisis kepemimpinan yang kini sedang berlangsung memanggil kaum muda untuk belajar dan bekerja lebih keras agar mampu memberikan alternatif kepemimpinan yang lebih demokratis, plural, inklusif, jujur, dan adil. Ketika berhadapan dengan gerak globalisasi yang eksploitatif itu kaum muda diundang untuk berani tampil dan menegakkan kembali martabat manusia sebelum ia sepenuhnya terlindas oleh gemertaknya roda-roda globalisasi ekonomi yang represif.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka memenuhi kedua panggilan tersebut:
Pertama, kesediaan untuk belajar dari sejarah. Gerak cepat zaman modern yang biasanya berorientasi ke depan dan individualistik sering membuat orang enggan untuk berhenti sejenak guna menengok ke belakang dan berguru pada sejarah. Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Allan Bloom (1987), sejarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan masa depan. Akan sulit bagi kita untuk membangun masa depan yang sehat bagi bangsa ini selama kita tetap rajin menutup-nutupi bagian-bagian tertentu dari sejarah kita. Kesediaan kaum muda untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain akan memperkaya wawasan dalam upaya membangun masa depan yang dicita-citakan.
“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”(Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno)
Kedua, kesediaan untuk belajar dari dan bersama masyarakat. Jika Soekarno muda akhirnya menjadi pejuang penuh semangat bagi rakyat terjajah, semangat itu tidak terutama ia dapatkan di bangku kuliah, melainkan dari masyarakat, misalnya dari petani Marhaen. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, kaum muda dan mahasiswa sekarang juga dituntut untuk bersedia membuka diri guna belajar dari dan bersama masyarakat dalam rangka perjuangan bersama demi terwujudnya masyarakat yang lebih baik.
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . -Bung Karno
Ketiga, dalam konteks ini perlu pula kiranya mempertimbangkan ajakan Romo Mangun kepada kaum muda untuk berjiwa pascanasionalis dan pasca Einstein (Mangunwijaya: 1999). Dengan semangat pascanasionalis (juga disebut "pascaIndonesia") Mangun berniat mengajak kaum muda untuk berwawasan humanis-universal berdasarkan kesadaran akan Indonesia sebagai bagian dari sejarah dan dinamika seluruh umat manusia. Sementara itu dengan jiwa pascaEinstein, Mangun ingin mengundang kaum muda untuk berpikir multi-dimensional dan membuka diri terhadap sifat relatif dari realitas, dalam arti tidak suka main mutlak-mutlakan terutama dalam rangka memenangkan kepentingan sendiri. Kemampuan untuk berjiwa humanis-universal serta menyadari multidimensionalitas dan relativitas berbagai aspek kehidupan tentu merupakan bekal penting bagi para pemimpin masa depan yang ingin membangun masyarakatnya menjadi lebih manusiawi.
Adapun Upaya membangun sikap kepemimpinan mahasiswa membutuhkan sinergisitas pelbagai elemen. Dalam hal ini, pihak universitas dan organisasi kemahasiswaan perlu menjalin kerja sama dan komunikasi. Kegiatan akademis tidak perlu dibenturkan dengan aktivitas organisasi kemahasiswaan, karena kedua hal tersebut merupakan elemen yang saling berhubungan dan komplementer. Agar ilmu-ilmu yang diperoleh dalam aktivitas akademik menjadi fungsional, maka pihak universitas membutuhkan peran dari organisasi kemahasiswaan.
Melalui organisasi kemahasiswaan, kompetensi mahasiswa seyogyanya mendapatkan arahan yang tepat. Jika di perkuliahan biasanya ilmu yang didapatkan masih "melangit", maka ilmu tersebut menjadi "membumi" dalam setiap aktivitas organisasi kemahasiswaan. Saatnya generasi muda berpikir cerdas, kritis, penuh inovativ dan bergerak progressif, berprestasi, serta memiliki keberanian. Tentunya kita tidak ingin di katakan seperti hewan ternak yang hidupnya hanya berternak diri. Perjuangan hari ini akan terasa lebih berat jika kita tidak mengusung kesatuan & penyatuan tujuan.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno)

Referensi:
BASKARA WARDAYA SJ; tulisan di kabar-indonesia (2002),Staf pengajar di Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Pramoedya Ananta Toer ; “kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama Saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya berternak diri.”Saya Terbakar Amarah Sendirian , Wawacara bung pram dengan Andre’Vlitcek&Rossie Indira,Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Bara Prastama (Pend Sejarah 07)

0 comments: