Thursday, 22 April 2010
Prostitusi sebagai fenomena sosial senantiasa muncul dan berkembang di setiap zaman dan keadaan. Secara biologis, selama ada nafsu birahi manusia maka prostitusi akan terus lestari. Tak heran jika prostitusi tak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan (Utomo, 2001). Walaupun demikian prostitusi tidak hanya mengungkap sisi gelap kehidupan manusia seperti bentuk transaksional hubungan kelamin, eksploitasi perempuan dan mereka yang terlibat di dalamnya saja, melainkan prostitusi mampu menggerakkan kehidupan sosio-ekonomi, seperti yang dilakukan para pelacur dari Jepang, baik melalui devisa yang masuk ke Jepang dan perdagangan di banyak tanah rantau, salah satunya Hindia Belanda (Indonesia sekarang).
AWAL KEDATANGAN
Sejarah mencatat, pekerja seks komersial Jepang yang disebut karayuki-san melakukan kedatangan pertama pada tahun 1885 ke Hindia Belanda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedatangan mereka seperti pengaruh Restorasi Meiji (1885-1890), di mana kolonialisasi yang dilakukan Jepang mengalami transisi dari “kolonialisasi dalam negeri” menjadi “kolonialisasi daerah luar negeri”; konsep daerah Nanyo sebagai daerah selatan Jepang (Wilayah Asia Tengara maksudnya-pen.) yang harus diekspansi karena berpotensial memiliki kekayaan sumber daya alam sehingga memiliki harapan yang cerah untuk hidup sejahtera dan akibat pemberlakuan Undang-Undang Liberalisasi Hindia Belanda pada tahun 1870 yang memungkinkan pendatang dari luar negeri mencari penghidupan yang layak di Hindia Belanda, ditambah Jepang memiliki hubungan baik dengan Belanda sejak tahun 1600 (Wibawarta, 2008: 250).
PRAKTEK PROSTITUSI Daerah persebaran karayuki-san meliputi daerah Siberia, Manchuria, Cina, daerah Pasifik Selatan, India sampai Amerika dan Afrika. Fukuzawa Fukichi, seorang cendekiawan dan tokoh terkemuka pada zaman Meiji menyebutkan peranan penting karayuki-san dalam sosio-ekonomi Jepang. Karayuki-san mengirim uang kepada sanak sudaranya di Jepang yang secara tidak langsung mendatangkan devisa bagi negara Jepang dan mendukung perkembangan serta pembangunan negara tersebut. Mereka masuk ke Hindia Belanda melalui Singapura, dan menyebar ke Medan, Palembang, Batavia, Surabaya, hingga Sandakan (kini bagian dari Sabah, Malaysia Timur). Menurut Peter Post (1992, 161) yang meneliti kegiatan orang Jepang di Hindia Belanda pada periode tahun 1868-1942, menemukan fakta bahwa pada tahun 1896 jenis pekerjaan penduduk Jepang di Hindia Belanda terdapat 48.0% karayuki-san dan sebanyak 9.1% adalah pemilik bordil atau germo.
Adapun gelombang kedatangan karayuki-san ke Hindia Belanda adalah tonggak awal kedatangan gelombang rombongan pedagang terutama pedagang kelontong Jepang. Menurut Shimizu Hajime, seorang ahli sejarah ekonomi Jepang, menyatakan bahwa pedagang kelontong awalnya melayani kebutuhan karayuki-san. Aktivitas mereka antara lain sewa-menyewa kamar (sehubungan dengan kegiatan prostitusi karayuki-san), membuka kedai makanan untuk menyediakan masakan Jepang, membuka salon rambut penataan sanggul cara Jepang, memperjualbelikan ikat pingang untuk kimono dan lain sebagainya (Astuti, 2008: 3).
Kehadiran pelacur impor seperti karayuki-san memang menjadi favorit para lelaki hidung belang (dimasa itu disebut “pria berhidung putih”). Seiring kedatangan para karayuki-san, pelacur dan escort lady asal daratan Tiongkok juga berdatangan. Pada masa itu pria Jepang sangat bergantung pada wanita, baik secara langsung mengeksploitasi pelacur sebagai germo dan pemilik bordilnya ataupun melayani kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penari Rickshaw (jinrikisha-fu), tukang cukur, tukang cuci, tukang foto, tukang gigi, tukang pijat, penjual tekstil (gofuku-sho), pemilik toko perhiasan (khususnya kulit kerang), warung, restoran, pemilik bar, dokter umum dan sebagainya (Shiraishi, 1998: 7).
Ida Ruwaidah Noor, seorang praktisi seksualitas, mengemukakan empat prinsip skenario seksual (sexual script) yang jika diperhatikan memiliki persamaan dengan kegiatan prostitusi karayuki-san di Hindia Belanda, antara lain; (1) pola perilaku seksual yang cenderung lokalistik pada prakteknya, (2) pola perilaku seksual karayuki-san muncul bukan semata akibat dorongan biologis semata, tetapi lebih karena pengaruh budaya, (3) pola perilaku karayuki-san membentuk sebuah proses akulturasi dengan budaya di mana prostitusi tersebut berkembang, (4) pola perilaku seksual termodifikasi sesuai dengan kebutuhan individu karayuki-san. Menurutnya, seksualitas secara umum pada dasarnya merupakan konsep sosial yang tidak mandiri, alias sarat dengan kepentingan ekonomi politik yang ada di belakangnya (tanpa nama, 2006: 144).
BERAKHIRNYA PROSTITUSI JEPANGKehadiran pelacur impor seperti karayuki-san memang menjadi favorit para lelaki hidung belang (dimasa itu disebut “pria berhidung putih”). Seiring kedatangan para karayuki-san, pelacur dan escort lady asal daratan Tiongkok juga berdatangan. Pada masa itu pria Jepang sangat bergantung pada wanita, baik secara langsung mengeksploitasi pelacur sebagai germo dan pemilik bordilnya ataupun melayani kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penari Rickshaw (jinrikisha-fu), tukang cukur, tukang cuci, tukang foto, tukang gigi, tukang pijat, penjual tekstil (gofuku-sho), pemilik toko perhiasan (khususnya kulit kerang), warung, restoran, pemilik bar, dokter umum dan sebagainya (Shiraishi, 1998: 7).
Ida Ruwaidah Noor, seorang praktisi seksualitas, mengemukakan empat prinsip skenario seksual (sexual script) yang jika diperhatikan memiliki persamaan dengan kegiatan prostitusi karayuki-san di Hindia Belanda, antara lain; (1) pola perilaku seksual yang cenderung lokalistik pada prakteknya, (2) pola perilaku seksual karayuki-san muncul bukan semata akibat dorongan biologis semata, tetapi lebih karena pengaruh budaya, (3) pola perilaku karayuki-san membentuk sebuah proses akulturasi dengan budaya di mana prostitusi tersebut berkembang, (4) pola perilaku seksual termodifikasi sesuai dengan kebutuhan individu karayuki-san. Menurutnya, seksualitas secara umum pada dasarnya merupakan konsep sosial yang tidak mandiri, alias sarat dengan kepentingan ekonomi politik yang ada di belakangnya (tanpa nama, 2006: 144).
Di Hindia Belanda prostitusi Jepang “dihapuskan” pada tahun 1912, dua tahun setelah konsulat dihapuskan. Hal ini terjadi karena perubahan paradigma pemerintah Jepang, dalam hal ini konsulat-konsulat Jepang di luar negeri tidak lagi melihat prostitusi sebagai profesi hina yang diperlukan dan untuk dibiarkan demi “kepentingan nasional dan kepentingan negara” Jepang (koku ‘eki), namun profesi ini dipandang sebagai “kehinaan nasional” (kokujoku). Dengan demikian mereka berubah dengan mencabut kategori pekerjaan tersebut, yaitu dengan penghapusan prostitusi Jepang berlisensi (haisho).
Pada awal-awal tahun beroperasinya konsulat (satu demi satu didirikan antara akhir tahun 1890-an dan 1910-an) tidak mempunyai alternatif kecuali menyetujui kegiatan prostitusi ini sebab prostitusi adalah landasan ekonomi mereka dan sumber devisa asing bagi negara Jepang. Konsulat Jepang dengan verdik mempropagandakan perasaan dan keyakinan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa “kelas satu” (Ikuyu Kokumin atau Ito Kokumin) dan mereka tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa cap “aib nasional” yang dilemparkan kepada karayuki-san, germo dan pemilik bordil ke dalam posisi makin menjadi orang buangan dalam komunitas Jepang. Hal ini berakibat menimbulkan tekanan dari komunitas terhadap para pihak pelaku prostitusi.
Konsulat Jepang di Batavia menggolongkan populasi orang Jepang menurut pekerjaan yang dilaporkan sendiri oleh para pendaftar, maka laporan tahun 1913 mencatat bahwa para pelacur termasuk dalam kategori “lain-lain pekerjaan” dan “tidak bekerja”. Bahwa pada tahun itu terdapat 918 wanita yang terdaftar sebagai “tidak bekerja”, dapat diduga bahwa kebanyakan dari mereka itu adalah pelacur, sebagaimana tahun 1912 dilakukan pelarangan kegiatan prostitusi. Dengan demikian, bahwa para pelacur tersebut terus dihitung setelah tahun itu, walaupun dengan sebutan yang lain (Murayama, 1998: 140).
Di Hindia Belanda pada tahun 1898 bangsa Jepang disetujui sama status hukumnya dengan orang kulit putih. Hal ini memberi pengaruh pada status gengsi dan mobilitas vertikal naik, dari yang semula warga kelas dua (bersama dengan warga keturunan Arab dan Cina, orang Timur Asing) menjadi warga kelas satu bersama warga Eropa. Ketergantungan perekonomian Jepang di Hindia Belanda terhadap prostitusi juga mulai ditinggalkan sebagai konskuensi logis dari kemenangan Jepang dalam perang Cina-Jepang dan Rusia-Jepang dalam perebutan Pulau Sakhalin (1905), munculnya negara Jepang sebagai negara imperial “kelas satu” setelah Perang Dunia Pertama dan perpindahan profesi orang Jepang ke pekerjaan yang lebih terhormat pada dunia usaha dan industrialisasi dalam jaringan perdagangan Jepang.
Tak dapat disangsikan bahwa keberadaan karayuki-san memicu munculnya perdagangan kecil hingga ekspansi konglomerasi Jepang melalui perusahaan Mitsubishi, Toyoda yang berubah menjadi Toyota, Mitsui, pelayaran OSK Lines dan lain-lain. Singkatnya, kegiatan prostitusi Jepang merupakan cikal bakal gurita industri dan bisnis Jepang di Indonesia hingga saat ini. Tak ketinggalan prostitusi Jepang turut direkam dan memberi inspirasi para penulis besar Indonesia mulai dari Pramoedya Ananta Toer dengan tokoh Maiko, karayuki-san yang menjadi salah satu kembang dalam roman Bumi Manusia, hingga Remy Sylado dengan novel Kembang Jepun karangannya (Santosa, 2009: 27). Hal ini membuktikan bahwa prostitusi Jepang di Hindia Belanda tak sekedar urusan transaksional kelamin belaka melainkan sebuah kegiatan yang mampu menggerakkan perekonomian baik di dalam negerinya maupun pengaruhnya yang tak terelakkan di dunia internasional. Sejarah telah membuktikannya.
Pada awal-awal tahun beroperasinya konsulat (satu demi satu didirikan antara akhir tahun 1890-an dan 1910-an) tidak mempunyai alternatif kecuali menyetujui kegiatan prostitusi ini sebab prostitusi adalah landasan ekonomi mereka dan sumber devisa asing bagi negara Jepang. Konsulat Jepang dengan verdik mempropagandakan perasaan dan keyakinan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa “kelas satu” (Ikuyu Kokumin atau Ito Kokumin) dan mereka tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa cap “aib nasional” yang dilemparkan kepada karayuki-san, germo dan pemilik bordil ke dalam posisi makin menjadi orang buangan dalam komunitas Jepang. Hal ini berakibat menimbulkan tekanan dari komunitas terhadap para pihak pelaku prostitusi.
Konsulat Jepang di Batavia menggolongkan populasi orang Jepang menurut pekerjaan yang dilaporkan sendiri oleh para pendaftar, maka laporan tahun 1913 mencatat bahwa para pelacur termasuk dalam kategori “lain-lain pekerjaan” dan “tidak bekerja”. Bahwa pada tahun itu terdapat 918 wanita yang terdaftar sebagai “tidak bekerja”, dapat diduga bahwa kebanyakan dari mereka itu adalah pelacur, sebagaimana tahun 1912 dilakukan pelarangan kegiatan prostitusi. Dengan demikian, bahwa para pelacur tersebut terus dihitung setelah tahun itu, walaupun dengan sebutan yang lain (Murayama, 1998: 140).
Di Hindia Belanda pada tahun 1898 bangsa Jepang disetujui sama status hukumnya dengan orang kulit putih. Hal ini memberi pengaruh pada status gengsi dan mobilitas vertikal naik, dari yang semula warga kelas dua (bersama dengan warga keturunan Arab dan Cina, orang Timur Asing) menjadi warga kelas satu bersama warga Eropa. Ketergantungan perekonomian Jepang di Hindia Belanda terhadap prostitusi juga mulai ditinggalkan sebagai konskuensi logis dari kemenangan Jepang dalam perang Cina-Jepang dan Rusia-Jepang dalam perebutan Pulau Sakhalin (1905), munculnya negara Jepang sebagai negara imperial “kelas satu” setelah Perang Dunia Pertama dan perpindahan profesi orang Jepang ke pekerjaan yang lebih terhormat pada dunia usaha dan industrialisasi dalam jaringan perdagangan Jepang.
Tak dapat disangsikan bahwa keberadaan karayuki-san memicu munculnya perdagangan kecil hingga ekspansi konglomerasi Jepang melalui perusahaan Mitsubishi, Toyoda yang berubah menjadi Toyota, Mitsui, pelayaran OSK Lines dan lain-lain. Singkatnya, kegiatan prostitusi Jepang merupakan cikal bakal gurita industri dan bisnis Jepang di Indonesia hingga saat ini. Tak ketinggalan prostitusi Jepang turut direkam dan memberi inspirasi para penulis besar Indonesia mulai dari Pramoedya Ananta Toer dengan tokoh Maiko, karayuki-san yang menjadi salah satu kembang dalam roman Bumi Manusia, hingga Remy Sylado dengan novel Kembang Jepun karangannya (Santosa, 2009: 27). Hal ini membuktikan bahwa prostitusi Jepang di Hindia Belanda tak sekedar urusan transaksional kelamin belaka melainkan sebuah kegiatan yang mampu menggerakkan perekonomian baik di dalam negerinya maupun pengaruhnya yang tak terelakkan di dunia internasional. Sejarah telah membuktikannya.
*Tulisan ini pernah disajikan dalam Forum Studi Kajian HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) Sejarah pada Jumat tanggal 30 Oktober 2009 di ruang J8.102, Gedung J, Universitas Negeri Malang.
**Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Angk. 2007, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Pernah menjadi Sekretaris Pelaksana Seminar Nasional HMJ Sejarah dan Musyawarah Wilayah III IKAHIMSI pada tahun 2008. Saat ini Ketua HMJ Sejarah Periode 2009/2010 dan Pemimpin Umum Jurnal Dimensi Sejarah. Penulis dapat dihubungi pada: Francis_x_hera@yahoo.co.id
DAFTAR RUJUKAN
Astuti, Meta Sekar Aji. 2008. Apakah Mereka Mata-mata? Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak.Murayama, Yoshitada. 1998. Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Timur Belanda Sebelum Perang. Dalam Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (Ed.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Terjemahan oleh P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Post, Peter. 1992. Japanse Bedrijvigheid in IndonesiĆ« 1868-1942: Structurele Elementen van Japan’s Economische Expansie in Zuidoost AziĆ«. Disertasi tidak diterbitkan. Amsterdam: Vrije Universiteit.
Santosa, Iwan. 27 Mei 2009. Sejarah Prostitusi Karayuki-san hingga Amoy dan Uzbek. KOMPAS, hlm. 27.
Shiraishi, Saya dan Shiraishi, Takashi. 1998. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara: Sebuah Tinjauan. Dalam Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (Ed.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Terjemahan oleh P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tanpa nama. 2006. Subaltern di Balik Konsep Seksualitas. Srinth!l No. 10, hlm. 135-146.
Toer, Pramoedya Ananta. 1981. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
Utomo, Djoko, dkk. Pemberantasan Prostitusi Di Indonesia Masa Kolonial, Penerbitan Naskah Sumber, Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2001. Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation dengan ARSIP NASIONAL RI.
Wibawarta, Bambang. 2008. Dejima: VOC dan Rangaku. Wacana Vol. 10 No.2, Oktober 2008.
F X DOMINI B B HERA (Universitas Negeri Malang 07)
1 comments:
menarik sekali artikelnya
Post a Comment