Tuesday, 20 April 2010
Menteri Penerangan
Sidang PPKI 19 agustus merupakan salah satu diantara beberapa langkah penting pada awal-awal revolusi. Karena tanggal tersebut merupakan proses awal dalam mengisi kemerdekaan. Dalam sidang itu, PPKI melangsungkan kegiatan sidang yang membahas dan menetapkan pembentukan kabinet dan pembagian wilayah-wilayah di Indonesia. Pembentukan kabinet tersebut merupakan bagian dari sistem presidensial yang telah disepakati pada sidang PPKI sebelumnya. Jelas bahwa dalam sistem presidensial menteri-menteri di tunjuk untuk membantu jalannya pemerintahan dan bertanggungjawab langsung pada presiden .
Amir Sjarifudin merupakan salah satu nama yang tercantum dalam kabinet presidensial. Ia menjabat menjadi menteri penerangan dan Ali Sastroamijoyo menjadi wakilnya. Dapat dikatakan, Menteri Penerangan merupakan awal karir Amir dalam pemerintahan. Namun karena singkatnya waktu yang dijalankan kabinet presidensial sehingga sangat sedikit pula pencapaian yang ia berikan sebagai Menteri Penerangan. Namun ada beberapa aktivitas ketika menjadi menteri, seperti pada terjadinya peristiwa Surabaya, dimana ketika itu Inggris memanggil Soekarno dan Amir Sjarifudin untuk menenangkan arek-arek Surabaya, posisi Amir sangat penting saat itu, walaupun karena Soekarno namun disinilah ide cemerlang Amir sehingga diadakannya gencatan senjata antar kedua belah pihak pada 30 Oktober 1945. Selain itu, Amir pun sering berhubungan dengan perwira KNIL. Pentingnya hubungan itu karena pada masa Soekarno posisi KNIL selalu dikesampingkan, Soekarno lebih suka cenderung pada angkatan lulusan Jepang seperti PETA dll. Namun dengan pendekatan itu, KNIL pun menyatakan dirinya setia pada Indonesia. Tak heran bila nanti ia menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Sahrir.
Kudeta tak Berdarah Amir dan Sahrir
Amir dan Sahrir dipertemukan dalam keadaan yang sama, karena keduanya memiliki sikap yang sama yakni anti Fasis. Pada masa kependudukan Jepang, dimana ketika golongan tua lebih memilih berklaborasi dengan Jepang. Amir dan Sahrir lebih memilih berjuang dibawah tanah dengan tujuan mengumpulkan masa sebanyak-banyaknya lalu bekerja sama dengan Belanda. Oleh karena itu, terpilihnya Soekarno dan Hatta menurut propaganda mereka adalah hasil dari klaborasi dengan Jepang dan mereka takut di cap bahwa Indonesia merdeka karena pemberian Jepang. Suatu kerugian bila Negara yang baru berdiri ini tidak diakui oleh Negara-negara barat . bahkan malah bisa saja Indonesia kembali jatuh ketangan Belanda sesuai dengan kesepakatan Negara-negara sekutu setelah PD II.
Propaganda tersebut berjalan lancar. Langkah selanjutnya yakni melakukan kudeta pada 16 Oktober 1945, kudeta tak berdarah begitulah ungkapan Chairul Saleh yang berarti pengambil alihan pimpinan nasional yang berbau Jepang dipimpin oleh yang berbau Sekutu. Atau biasa disebut Benerdict ROG Anderson sebagai A Silent Coup.
Pengambilalihan tersebut ditandai dengan perubahan keputusan PPKI pada 22 Agustus 1945. Mengenai:
1. Komite Nasional Indonesia
2. Partai Nasional Indonesia
3. Badan Keamanan Rakyat
Perubahan pertama adalah perombakan KNIP, dimana Amir dan Sahrir dapat melengserkan pimpinan KNIP Mr, Kasman Singodimejo dan merubah KNIP menjadi BPKNIP. Anggota-anggota KNIP pun dirombak, diisi oleh orang-orang pilihan Amir dan Sahrir. Hasilnya dari pebubahan struktur KNIP menjadikan masa kekuasaan istimewa Presiden berakhir, karena BPKNIP di beri kekuasaan menjalankan legislatif.
Selain perubahan KNIP, dampak kudeta adalah tidak terealisasikannya pembentukan satu partai pelopor yang diusulkan oleh Soekarno. Amir dan Sahrir beranggapan bahwa system satu partai adalah ciri-ciri Negara yang berpaham Fasis seperti NAZI di Jerman. Oleh karena itu, pada 3 November 1945 dikeluarkannya Maklumat X yang berisikan pembentukan partai-partai politik yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta.
Oleh karena usaha kudeta tersebut maka terbentuklah partai-partai seperti:
• Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi)
• Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII)
• Partai Buruh Indonesia (PIB)
• Partai Rakyat Djelata (PRD)
• Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
• Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI)
• Partai Rakyat Marhaen Indonesia (Permei)
• Partai Nasional Indonesia (PNI)
• Partai Komunis Indonesia(PKI)
• Pertai Rakyat Indonesia (PRI)
• Partai Kebangsaan Indonesia (Parki)
• Partai Rakyat Sosialis (PRS) partai yang didirikan oleh Sutan Sahrir
• Partai Sosialis Indonesia (Parsi). Partai ini didirikan oleh Amir Sjarifudin pada 10 November 1945
• Partai Sosialis. Partai ini adalah gabungan antara PRS pimpinan Sahrir dengan Parsi pada desember 1945. Partai ini dipimpin oleh Sutan Sahrir, Amir Sjarifudin, Oie Hwee Goat. Partai ini bertipikal partai intelektual. Oleh karena bersatunya partai ini, kedua tokoh ini semakin dekat, Amir sebagai motor dan Sahrir menjadi kendalinnya
Puncak dari kudeta tak berdarah itu adalah naiknya Sutan Sahrir menjadi Perdana Menteri pada 14 November 1945. Sebuah kenyataan bahwa adanya penyelewengan UUD 45 yakni berubahnya sistem pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Sebuah timbal balik tentunya, naiknya Sahrir membawa angin segar bagi Amir Sjarifudin, ia pun diberikan posisi yang strategis yakni menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Penerangan.
Peran Amir Sjarifudin sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet PM Sahrir
Naiknya Sutan Sahrir menjadi PM tak luput dari peran besar Amir. Keduanya memiliki tujuan yang sama dan cita-cita yang sama, hal ini dapat terlihat bagaimana upaya besar Amir yang selalu bekerja sama dengan Sahrir untuk mencapai tujuan tersebut. Hasil terpenting yang nyata, bahwa Indonesia telah diakui secara de facto oleh Negara-negara sekutu, walaupun Belanda masih enggan dan berusaha untuk dapat menguasai Indonesia menjadi Negara jajahannya kembali.
Rasa balas budi, mungkin itulah yang ada dalam benak Sahrir saat itu. Sahrir yakin, bila Amir tidak ada disampinya, Negara ini tetap dipegang oleh gologan tua. Oleh karena itu, Sahrir memasukan Amir dalam struktur kabinetnya. Ia menjadi Menteri Pertahanan dan dapat dikatakan sebuah jabatan yang terpenting karena posisi ini adalah posisi yang sangat strategis apalagi Indonesia baru saja menjadi Negara merdeka pastinya pertahanan Negara merupakan tonggak terpenting. Selain itu, posisi ini menjadi permainan politik, siapa yang menjabat dapat memperkuat dan menguntungkan bagi kepentingan ideologinya.
Melihat begitu besarnya peran persenjataan, Amir tidak menyianyiakan kesempatan ini. Ia membuat basis-basis kekuatan dalam angkatan persenjataan dan basis buruh, disinilah terciptanya TNI masyarakat. Selain itu, ia menyimpan senjata-senjata cadangan yang hanya diketahui oleh orang-orangnya saja. Nantinya, hasil kecerdikan Amir ini menjadi pertentangan terpenting pada kabinet Hatta bahkan menjadi sebuah kekuatan dalam melancarkan kudeta Madiun yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Penculikan terhadap PM Sahrir (Kudeta 3 Juni 1946) sampai Perundingan Linggarjati
Walaupun pada dasarnya jabatan Menteri Pertahanan banyak digunakan untuk kepentingannya sendiri. Namun ia tetap bertanggung jawab terhadap Negaranya, apalagi keamanan itu mengancam posisi PM Sahrir yang berarti juga mengancam keberlangsungan pemerintahan republik.
Peristiwa ini terjadi pada masa Kabinet Sahrir II. Dimana Tan Malaka dalam organisasinya Persatuan Perjuangan mengadakan penculikan terhadap Sahrir. Penculikan ini didasarkan karena adanya kesepakatan Tan Malaka dengan Soekarno dan juga kekecewaan anggota Tan Malaka karena Sahrir terlalu lembek dalam menghadapi Belanda. Sahrir di culik pada 27-28 Juni 1946 di Surakarta. Intinya peristiwa kudeta ini merupakan cara perebutan kekuasaan terhadap PM Sahrir.
Selain Sahrir, nama Amir Sjarifudin pun disebut-sebut dalam daftar penculikan. Rencananya ia akan diculik pada 3 juli 1946 walaupun kenyataannya penculikan itu tidak berhasil. Dengan kapasitasnya sebagai Mentri Pertahanan, ia mampu mengatasi pemberontakan tersebut dengan mengarahkan Polisi Militer dan bantuan laskar Persindo. Beberapa tokoh sentral pemberontakan ini dapat tertangkap diantaranya, Tan Malaka, M. Yamin, Sayuti Melik, Chairul Saleh, Abikusno dan Jendral Sudarsono.
Dari beberapa yang tertangkap ditemukan dokumen yang berisi mengenai jalannya kudeta tersebut. Antara lain :
- Presiden Soekarno pada 3 Juli 1946 akan dipaksa memberhentikan Kementrian Negara yang dipimpin oleh Sutan Sahrir dan Amir Sjarifudin.
- Presiden Soekarno dipaksa menandatangani daftar susunan Dewan Pimpinan Politik dan Kementrian Negara baru.
Penyelesaian kudeta 3 Juli 1946 dapat terselesaikan oleh Mentri Pertahanan Amir Sjarifudin. Ia pun membawa Tan Malak dkk ke Mahkamah Tentara Agung. Didepan pengadilan mereka mengatakan bahwa mereka tidak melakukan kudeta tetapi hanya menjalankan hak petisi dari hak demokrasi yang diakui oleh UUD 45. Namun kenyataannya, mereka tetap dipenjara, hal ini dikarenakan kesaksian Amir yang mengatakan bahwa perbutan mereka jelas-jelas merupakan suatu perebutan kekuasaan pemerintahan parlementer dan mereka harus dihukum. Bahkan dalam organisasinya sendiri, Amir pun menyikapi kudeta Persatuan Perjuangan itu dengan cara menarik pasukan-pasukannya khususnya anggota Persindo dari Persatuan Perjuangan pada Bulan Maret 1946.
Setelah terjadinya pristiwa kudeta tersebut, pemerintahan kembali normal, Sahrir telah bersiap-siap untuk mengadakan perundingan dengan Belanda. Perundingan Linggarjati pun berlangsung pada 10-15 November 1946. Dalam perundingan ini, tugas pemerintahan dibagi dua, Amir sebagai Menteri Pertahanan menyusun kekuatan di Yogjakarta dengan cara melihat kesiapan tentara-tentara nasoinal, Sahrir sebagai PM memimpin diplomasi di Jakarta. Perundingan pun berlangsung dipihak Belanda sendiri diwakili oleh Prof. Shermerhon. Hasil perundingan itu antara lain:
1. Pemerintahan Belanda mengakui pemerintahan Republik Indonesia secara de facto, menjalankan kekuasaan atas Jawa, Madura dan Sumatra.
2. Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Repulik Indonesia bekerja sama agar terbentuknya Negara Indonesia Serikat yang Merdeka dan berdaulat atas dasar demokrasi dan system federal.
3. Bagian-bagian Negar Indonesia Serikat adalah Republik Indonesia, Kalimantan, dan Indonesia Timur.
4. Perselisihan antara Belanda dan Indonesia tidak terealisasikan oleh perundingan diserahkan pada arbitrase.
Bila dilihat dari hasil perundingan diatas, jelas bahwa isi perundingan Linggarjati sangat merugikan Indonesia. Banyak kecaman yang ditujukan pada pemerintahan PM Sahrir. Demikiannya pula sikap Amir Sjarifudin. Ada perbedaan pendapat dikalangan sejarahwan mengenai sikapnya atas linggarjati. Menurut TB. Simatupang dalam bukunya Laporan dari Banaran Amir Sjarifudin mendukung apapun hasil keputusan dari perundingan bahkan mencapai 100 persen. Namun ada juga yang mengatakan bahwa karena perundingan Linggarjati ini, Amir menarik dukungan dan sebagian besar anggotanya yang berasal dari sayap kiri. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Pasca Linggarjati, Amir sendiri menjatuhkan Kabinet Sahrir hingga terjadi perpecahan dalam tubuh Partai sosialis yang berujung pada pembentukan partai baru oleh Sahrir yakni Partai Sosislis Indonesia (PSI). Sangat sulit untuk mencap yang mana pendapat yang benar tentang bagaimana sikap Amir terhadap Perundingan Linggarjati. Namun menurup penulis sendiri pendapat bahwa perpecahan sehingga Sahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia dinilai kurang pas karena pecahnya partai sendiri dikarenakan adanya perbedaan pandangan saat masa Kabinet Hatta.
Karena banyaknya kecaman yang ditujukan kepada Sahrir maka pada 27 Juni 1947 Sahrir memutuskan mundur sebagai PM.
Perdana Menteri (3 Juni 1947 - 23 Januari 1948)
Mundurnya sahrir dan kabinetnya menjadikan posisi PM kosong. Sedangkan situasi mulai tidak memungkinkan. Belanda kembali datang dengan pasukanya untuk menguasai Indonesia. Berbagai daerah timbul pergolakan, hal ini terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda dalam menjalankan perundingan Linggarjati, baik pihak Belanda ataupun dari Indonesia sendiri.
Kekosongan posisi PM menbuat Presiden Soekarno mengambil sikap. Ia menganjurkan terbentuknya kabinet persatuan. Kabinet ini diisi oleh semua unsur yang ada di Indonesia baik Nasionalis, Agama, ataupun Sosialis. Namun terjadi suatu kendala, pihak agama (terutama Masyumi) tidak mau masuk dalam kabinet Amir karena menilai bahwa Amir sangat condong pada Sosialis Radikal sehingga terjadi perpecahan dalam Masyumi, para tokoh-tokoh yang menginginkan masuk dalam kabinet Amir memecahkan diri dan membentuk PSII. Disatu sisi bagi kaum nasionalis ini adalah saatnya mereka masuk dalam struktur pemerintahan bahkan dapat dikatakan PNI pertamakali masuk dalam pemerintahan. Kabinet Amir pun dilantik pada 3 Juli 1947.
Sekalipun kabinet ini diusulkan menjadi kabinet persatuan, namun nyatanya sayap kiri sangat mendominasi. Beberapa tokoh kiri yang masuk dalam kabinet Amir, Antara lain:
- Amir Sjarifudin (Komunis) PM merangkap Menhan
- Setiadjid (Buruh Komunis) Deputi PM
- S.K Trimurti (Buruh Komunis) Menteri Pemburuhan
- Abdul Madjid (Komunis) Menteri Muda Dalam Negeri
- Moh. Tamsil (Sosialis) Menteri Luar Negeri
- Dr. Ong Eng Djie (Sosialis) Menteri Muda Keuangan
- Siouw Giok Tan(Komunis) Menteri Negara
- Wikana (Komunis) Menteri Negara
- Dll.
Terbentuknya Kabinet Amir Sjarifudin bersamaan dengan terjadinya aksi Polisionil Belanda I yang melangsungkan penyerangannya pada 20 Juli 1947. Penyerangan ini dikaranakan keinginan besar Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia, walaupun telah ada kesepakat Linggarjati. Keadaan yang semakin parah, Belanda mampu menguasai pusat-pusat strategis RI. Satu hal yang menjadi nilai positif yakni aksi polisionil ini mendapat kecaman dari Negara-negara lain, termasuk anggota sekutu, atas nama Dewan Keamanan PBB maka Australia berinisiatif mengajuakan diadakannya sidang darurat.
Pada 25 Agustus 1947 dibentuk Komisi Tiga Negara yang bertujuan untuk menyelesaikan politik diantara kedua Negara. Komisi ini dibentuk sebagai langkah untuk memulai diadakannya Perundingan di tahap selanjutnya. Sebenarnya dalam diri Indonesia sendiri timbul keraguan, ditakutkan Negara-negara sekutu lebih menguntungkan Belanda dari pada Indonesia.
Hasil dari KTN sendiri diantara dilanjutkan masalah ini ke meja perundingan. Oleh karena itu dibentuklah wakil-wakil dari kedua Negara. Dari Belanda sendiri, diketuai oleh Abdulkadir, dengan wakilnya van Vreendenburch, sedangkan anggotanya dari daerah-daerah di Indonesia yang penjabatnya tidak memiliki wewenang yang menjadi “anak buah” dari Van Mook. Dari Indonesia sendiri diwakili oleh PM Amir Sjarifudin, Menteri Ali Sastroamidjoyo, Agus salim, Dr. Leimmana dan anggota KNIP Moh. Roem.
Perundingan pun rencananya akan dilaksanakan di Kapal pengangkut AL AS Renville di Teluk Jakarta. Untuk menyambut Perundingan ini, Pada 31 Oktober 1947 Amir selaku PM membacakan pidatonya yang menyatakan:
1. Status Republik Indonesia sebelum Belanda melakukan aksi militernya pada tanggal 21 Juli 1947 harus diakui tanpa syarat.
2. Pasukan Belanda harus diundurkan pada kedudukan sebelum mereka melakukan aksi militer pada 21 Juli 1947.
3. Dengan tidak diundurkannya tentara Belelanda dari daerah Republik Indonesia, permusuhan yang ada sekarang akan menghebat menjadi perang dalam arti sesungguh-sungguhnya
Namun ditengah berlangsungnya KTN, Belanda menolak skema yang diusulkan oleh PBB yang berisi bahwa Belanda harus mengosongkan wilayah-wilayah yang ia kuasai. Belanda pun mengajukan opsi yakni garis demarkasi berdasarkan garis Van Mook bahkan Belanda secara sepihak telak mengsahkan opsi itu dari 5 september 1947.
Sangat mengecewakan, usulan Belanda tersebut diterima oleh KTN. Bahkan PBB menganjurkan untuk menerima poin tersebut. Amir yang bertanggung jawab karena ia sebagai PM menolak usul itu, perwakilan Indonesia pun meninggalkan kapal Renville (kapal Renvill digunakan dalam perundingan KTN dan persetujuan Renvill sendiri) dengan tetap melanjutkan perang walau apapun resikonya. Selain itu, Amir juga menjelaskan pada pers bahwa Belanda telah menolak usulan gencatan senjata yang diajukan KTN.
Sekali lagi, PBB mencoba membujuk Republik agar mau melanjutkan perundingan. bahkan Prof Graham sendiri yang merupakan wakil Amerika serikat di Indonesia mengatakan bahwa Amerika tidak mencoba untuk melemahkan posisi Indonesia malahan ini merupakan cara agar Belanda tidak menggunakan kekerasan terhadap RI.
Keputusan pun diambil, Indonesia mau mengikuti perundingan tersebut dengan adanya pertimbangan, ketakutan bila korban bertambah parah bila tetap melaksanakan aksi militer, dank arena menghargai jasa-jasa PBB yang mau mengikapi permasalahan ini. Dengan pertimbangan seperti itu, Indonesia pun melanjutkan perundingan hingga terjadinya kesepakatan perundingan Renvill.
Perundingan Renvill di tanda tangani pada sidang keempat tanggal 17 Januari 1948. Hasil dari perundingan tersebut jauh lebih parah dari perundingan sebelumnya. Salah satunya adalah wilayah Indonesia semakin kecil, dan mengikuti garis van Mook. Tentara-tentara yang ada disana (Jawa Barat) harus mengosongkan wilayah itu, pada perkembangan selanjutnya didaerah ini terjadi peristiwa besar yakni Pemberontakan DII/TII.
Akibat perundingan tersebut Amir Sjrifudin dikecam oleh beberapa kalangan. Bahkan partainya pun mengecam tindakan Amir, hal ini terjadi dikarenakan Amir sendiri menanda tangani persetujuan tersebut tanpa terlebih dahulu meminta pandangan pada partainya sehingga tentara berdemonstrasi menuduh Amir sebagai pengkhianat. Sebelum penanda tanganan sebenarnya Amir yakin bahwa ia akan didukung penuh oleh partainya. Namun bukannya mendapat dukung tapi malah mendapat kecaman dari beberapa pihak. Spekulasi sejarah terjadi, ada yang mengatakan bahwa keputusan Amir menandatangani persetujuan tersebut dikarenakan karena Amir beragama Kristen dan perwakilan AS juga beragama Kristen sehingga Amir disarankan untuk menyetujui dan nanti ia akan membantu Amir untuk mengadakan perundingan kembali yang lebih menguntungkan Indonesia, tapi sayang ketika perundingan itu telah disetujui, perwakilan AS itu ditarik kembali oleh negaranya. Amir pun mundur sebagai Perdana Menteri pada 23 Januari 1948 dengan meninggalkan kekecewaan dari hasil keegoisannya.
Kabinet Hatta
Melihat bahwa orang-orang sosialis kontra Soekarno tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, maka Presiden Soekarno pun memutuskan untuk mengangkat Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri ketiga. Keputusan ini juga merupakan sebuah pertimbangan bahwa kondisi Amir tidak memungkinkan lagi menjadi PM bahkan menjadi Menteri Pertahanan, seperti yang dikutip dalam kesaksian Dr. R. Soeharto.
perubahan tingkah laku Mr. Amir Sjarifudin dari tinjauan kesehatan oleh Dr. Soeharto dan sejawatnya, tidak terdapat pada penulisan sejarah manapun. Tidaklah berarti hal tersebut menjadi salah. Melainkan tetap benar, hanya yang seperti dikemukakan oleh Dr. Soeharto dengan pertimbangan politik saat itu, tidak berani diajukan ke Presiden Soekarno. Akibatnya, kondisi kesehatan Amir Sjarifudin dengan perubahan wataknya tidak terpublikasikan pada saat itu.
Oleh karena itu,dampak dari terganggunya kesehatan Mr. Amir Sjarifudin bersedia menandatangani hasil perundingan Renvill yang disodorkan oleh Abdulkadir widjojoatmojo, walaupun sangat merugikan Republik.
Naiknya Hatta menjadi Perdana Mentri banyak menimbulkan Pro dan Kontra. Orang-orang seperti PNI dan Masyumi mendukung berdirinya kabinet tersebut. Dilain pihak, orang-orang kiri tidak menyukai orang-orang pro Sukarno menjadi Perdana Memteri. Amir sendiri kecewa terhadap Soekarno yang telah memilih Hatta menggantikan dirinya.
Kekecewaan golongan kiri terhadap Kabinet Hatta diawali dengan ditolaknya Amir sebagai Menteri Pertahanan. Oleh karena itu pada 26 februari 1948 Amir Sjarifudin dan Stiadjit dalam rapat raksasa di Surakarta mengubah Sayap kiri menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Walaupun telah diajak untuk bergabung dengan kabinet Hatta dengan diberikan tiga kursi namun tetap saja FDR memilih menjadi oposisi karena alasan yang tadi, tidak diangkatnya Amir Sjarifudin menjadi Menteri Pertahanan.
Walaupun Kabinet Hatta mendapat ancaman dari FDR, namun Kabinet ini tetap tegar dan tidak takut terhadap mereka. Bahkan dalam menjalankan kabinetnya, Hatta akan menjalankan program:
1. Melaksanakan Persetujuan Renville
2. Mempercepat pembentukan Negara Indonesia Serikat
3. Melakukan Rasionalisasi dalam kententaraan
4. Rekonstruksi Nasional.
Melihat seperti itu program Hatta, membuat FDR semakin kesal, walaupun Renvill memang ditandatangani oleh Amir tapi Amir sendiri telah mengakui kesalahannya, dan ikut menolak dijalankannya persetujuan tersebut. Poin yang tak kalah penting adalah mengenai diadakannya Rasionalisasi kententaraan. Dijalankannya program ini dapat membuyarkan hasil yang Amir lakukan saat menjadi Mentri pertahanan. Karena bila ini terlaksana maka TNI masyarakat mau tidak mau harus dihapuskan. Bila melihat dari kenyataan, sebenarnya pendapat Amir ada benarnya, karena kebijakan yang dilakukan Hatta adalah mengurangi tentara dari 470.000 menjadi 57.000. sedangkan pada saat itu tentara Belanda memiliki 240.000 tentara di Indonesia.
Karena program-program yang dikeluarkan oleh Hatta sangat tidak menguntungkan bagi FDR. Maka sebagai pihak oposisi mereka mengeluarkan program tandingan seperti:
1. Menolak Persetujuan Renville
2. Menghentikan Perundingan dengan Belanda
3. Menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing yang vital.
Bila dilihat dari perbedaan Amir dan Hatta, dapat disimpulkan bahwa menurut Amir revolusi adalah Negara yang merdeka penuh, demokratis, bebas dari dominasi asing baik dari segi politik maupun ekonomi. Bagi Hatta sendiri Revolusi adalah kemerdekaan dan memberi tempat pada Negara-nagara barat untuk menanamkan modal di Indonesia. Pertantangan keduanya tidak hanya sebatas pada pandangan program. Hatta juga membebaskan pemberontak 3 juni (Tan Malaka Dll), jelas ini merupakan ancaman bagi Amir, karena Tan Malaka merupakan salah seorang tokoh yang dibenci oleh sayap kiri walaupun sebenarnya ia adalah komunis. Puncak dari pertantangan ini adalah terjadinya peristiwa Madiun. Dimana Amir melakukan kudeta terhadap pemerintahan dibawah naungan PKI.
Selain pertentangan antara Amir dan Hatta, dalam tubuh partasi sosialis sendiri terjadinya perpecahan antara Amir dan Sahrir. Perpecahan ini dikarenakan perbedaan pandangan antara keduanya. Sahrir lebih suka terhadap Hatta dan mendukung program-programnya. Bagi Sahrir, Indonesia tidak boleh memihak salah satu Negara besar, baik Amerika maupun Uni Soviet. Sahrir pun dapat melihat, bahwa Amir sekarang adalah Amir yang memiliki jiiwa komunis yang kuat dalam dirinya. Bahkan Sahrir pernah menyindir Amir dengan menanyakan bahwa apakah ia dahulu nasionalis baru komunis atau sebaliknya apakah ia dahulu komunis lalu nasionalis. Puncak pertentangan ini adalah perpecahan partai, Amir membentuk Partai Sosialis Baru dan Sahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia pada 13 Februari 1948. Bahkan Partai Sosialis Baru inilah yang menjadi cikal bakal menjadi FDR.
Peristiwa Madiun: Revolusi Memakan Anak Sendiri
Kekecewaan, begitulah yang dirasakan oleh Amir Sjarifudin. Kekecewaan tersebut menjadi sebuah niat yang buruk dengan mengadakan cup terhadap pemerintahan Indonesia. Melihat bahwa persiapan yang ia berikan saat menjadi mentri Pertahanan menjadi sebuah modal kuat untuk terealisasikan pemberontakan ini. Keoptimisan tersebut diawali dengan pengakuannya sebagai seorang komunis yang telah di bai’at oleh Muso pada 1935 lalu. Ia pun secara terang-terangan pada 9 september 1948 melalui radio mengakui kesalahan dahulu ketika bekerja sama dengan Belanda.
“sebagai seorang Komunis saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi. Saya menerima 25 ribu gulden dari Belanda sebelum kependudukan Jepang, guat menjalankan gerakan bawah tanah. Tetapi saya terima uang itu karena Comintern supaya kita bekerja sama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan fasisme…..Tak ada alasan lagi buat bekerja sama dengan kaum kapitalis. Kaum komunis sekarang tidak memerlukan lagi bekerja sama dengan kaum kapitalis”.
Masyumi menjadi salah satu partai yang selalu diajak bersama-sama melawan pemerintah Hatta. Tapi tidak berhasil, karena Masyumi mengetahui bahwa ada motif tidak baik dalam kesepakatannya dengan golongan kiri, Masyumi akirnya menolak ajakan FDR untuk bergabung bersama mereka.
Walaupun gagal mempengaruhi Masyumi, FDR optimis mampu melancarkan kudeta itu dengan berhasil, apalagi saat kedatangan Muso yang sejak pristiwa PKI 1926 selalu berada di luar negeri. Kedatangannya membawa angin segar bagi para komunis. Bahkan menurut Amir sendiri kedatangan Muso mempercepat proses yang sudah berkembang.
Langkah cepat diambil mereka berdua. Muso langsung menjabat menjadi ketua PKI menggantikan Sadjono. Amir ikut bergabung dengan Muso, dengan membubarkan FDR dan mengabungkannya dengan PKI. Beberapa partai yang menjadi anggota PKI antara lain: Persindo, Partai Sosialis Amir, Partai Buruh, SOBSI, BTI, dan TNI Masyarakat. Selain itu, merekapun sepakat untuk menjadikan Madiun sebagai ibu kota Negara Soviet Indonesia. Lalu mengganti lagu Indonesia Raya dengan lagu Internasionale. Bahkan menurut Hatta, ia mendengar bahwa Muso akan menjadi Presiden dan Mr. Amir Sjarifudin menjadi Perdana Menteri.
Melihat kondisi tersebut pemerintahan pusat segera bertindak. Presiden Soekarno langsung menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Jendaral di Solo dan sekitarnya. TNI langsung mengantisipasi pemberontakan yang di mulai pada 16 September 1948 itu. Di pusat sendiri, tanggal 19 Sepetember 1948 Soekarno mempropagandakan rakyat melalui siaran radio bahwa terjadi pemberontakan oleh komunis, rakyat sendiri disuruh memilih apakah memilih Muso dan PKInya atau Soekarno dan Hatta. Propaganda ini sangat meyakinkan rakyat. Sehingga pada 21 September 1948 dengan perintah terhadap TNI, kesatuan Brawijaya dengan dibantu oleh rakyat mampu menumpas pemberontakan ini. Para petinggi PKI pun tertanggap termasuk Amir Sjarifudin dan Muso. Bahkan Muso sendiri mati dalam pertempuran pada 31 Oktober 1948 oleh pasukan yang dipimpin M. Jasin.
Akhir Seorang Amir Sjarifudin
Ada berbagai versi yang menyebutkan bahwa peristiwa Madiun hanyalah suatu lokalitas. Yakni dimana kelompok membeladiri dari komunis. Bahkan peristiwa ini pun dinilai sebagai persengketaan antara TNI dengan laskar-laskar Revolusi terutama sayap kiri. Apapun versinya namun kenyataannya peristiwa ini telah terjadi dan menelan korban putra-putra bangsa seperti yang dialamai oleh Amir.
Amir dikatakan masuk dalam perangkapnya sendiri. Ia salah tafsir, ternyata ia tidak didukung oleh rakyat malahan rakyatlah yang sebenarnya mendukung Soekarno. Namun karena kepalang tanggung, ia pun melaksanakannya. Pada 23 September Amir mengucapkan Pidato Penghabisan karena melihat bahwa tentara telah mengepungnya.
Perjuangan yang kami adakan waktu ini hanya buat member koreksi kepada revolusi-revolusi kita. Jadi dasarnya tidak berubah sama sekali. Revolusi ini tidak berubah corak dari nasionalisnya, yang sebenarnya adalah Revolusi merah putih dan lagu kebangsaan kami adalah lagu Indonesia raya
Namun apa mau dikata, walaupun pidato tersebut adalah sebuah ungkapan hati putra tanah air. Tetap saja pemerintah menilai itu hanya sebuah alasan dan taktik mereka. Pada 28 Oktober 1948 pasukan PKI telah hancur. Amir pun tertangkap hidup-hidup pada 31 Oktober bersama Soeripno.
Tanggal 19 desember 1948 adalah hari yang tragis baginya. Ia bersama 10 pemimpin teras PKI dikeluarkan dari gerbong kereta di Desa Ngaliyan, Solo. Sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali tanah sedalam 1 setengah meter. Amir yang pada saat itu menggunakan piyama putih, celana biru panjang hijau, dan membawa buntelan sarung lalu bertanya “saya mau diapakan?”. Amir pun tahu bahwa ajalnya akan sampai. Bersama ke sepuluh temannya ia menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Setelah selesai Amir berseru “Bersatulah kaum buruh sedunia, aku mati untuk mu!”. mereka pun masuk kedalam tanah, lobang yang digali oleh waga desa tadi.
Satu hal yang menjadi kejanggalan, bahwa Amir adalah pelaku kudeta yang tertangkap hidup-hidup. Namun nyatanya selama ditahan ia tidak pernah diperiksa sama sekali. Malahan ia akhirnya dihukum mati tanpa adanya keputusan yang diambil oleh pengadilan. Amir Sjarifudin putra bangsa yang menjadi tumbal revolusi negaranya sendiri. Mengapa pemerintah saat itu tidak mau mengadili Amir Sjarifudin. Bila sejarah dapat berspekulasi (walaupun kenyataannya tidak boleh) pemerintah takut bila nanti Amir bersaksi mengenai kebenaran yang terjadi. Sesungguhnya, biarlah ia menjadi korban demi baik nama Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, Yogyakarta: Ombak 2007
Hanifah, Abu, Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3KIs 1977
Pramudya, Dkk, Kronik Revolusi Indonesia BAB III. Jakarta: Gramedia Feb 2001
Ricklefs M,C, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesrity 1994
Salean, Maulwi, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66. Jakarta: Visimedia, 2001
Simatupang,T,B, Laporan Dari Banaran. Jakarta: Sinar Harapan 1980
Soeharto, R. Dr, Saksi Sejarah Mengikuti Perjuangan Dwitunggal, Jakarta: Gunung Agung 1982
Soerojo, Soegiarso, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Jakarta: Antar Kota 1989
Soetanto, Himawan, Yogyakarta: Jendral Spoor versus Jendral Sudirman, Jakarta: Gramedia Pustaka 2006
Suryanagara, Ahmad, Mansyur, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani 2010
0 comments:
Post a Comment